Suatu tahun, Amirul Mukminin Abdul Malik
 bin Marwan berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan 
berziarah ke Haramain yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah
 shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sampailah bulan Dzulqa’dah, beliau berangkat menuju ke bumi Hijaz 
disertai tokoh-tokoh Bani Umayah, para gubernurnya, pejabat pemerintah, 
dan sebagian anaknya. Rombongan bertolak dari Damaskus ke Madinah
 al-Munawarah tanpa tergesa-gesa. Setiap kali singgah di suatu tempat 
atau wilayah, mereka beristirahat sambil mengadakan majelis ilmu dan saling memberikan peringatan agar bertambah pengetahuannya tentang agama dan mengisi jiwa dengan mutiara hikmah dan nasihat yang baik.
Sampailah rombongan tersebut di Madinah al-Munawarah, Amirul Mukminin
 menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Kemudian beliau melakukan shalat di Raadhah asy-Syarifah. Beliau 
merasakan kesejukan, ketenangan, dan ketentraman jiwa yang belum pernah 
beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu 
kunjungannya di kota Rasulullah itu seandainya ada waktu luang.
Pemandangan yang paling mengesankan dan menarik perhatiannya di 
Madinah al-Munawarah itu adalah banyaknya halaqah ilmu yang memakmurkan 
masjid Nabawi. Di sana berkumpul para ulama besar dan tokoh-tokoh 
tabi’in bagaikan bintang-bintang bercahaya di ufuk langit. Ada halaqah Urwah bin Zubair, ada halaqah Sa’id bin Musayyab, dan ada halaqah Abdullah bin Utbah.
Suatu hari Amirul Mukminin terbangun dari tidur siangnya dengan 
tiba-tiba, tidak seperti biasanya. Lalu dipanggilnya penjaga, “Wahai 
Maisarah!” Maisarah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin.” Beliau 
berkata, “Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah salah satu ulama yang 
berada di sana untuk memberikan peringatan kepada kita.”
Maisarah bersegera menuju Masjid. Dia
 melihat seluruh sudut-sudut masjid namun tidak melihat kecuali satu 
halaqah yang dipimpin oleh seorang syaikh yang telah tua. Usianya tampak
 sudah lebih dari 60 tahun, wajahnya kelihatan memancarkan kewibawaan 
seorang ulama. Orang-orang nampak menaruh hormat dan takjub kepadanya.
Maisarah menghampirinya hingga dekat dengan halaqah tersebut lalu 
menunjukkan jarinya kepada syaikh tersebut. Akan tetapi orang itu 
menghiraukannya, sehingga akhirnya Maisarah mendekat dan berkata, 
“Tidakkah Anda melihat bahwa saya menunjuk Anda?”
Sa’id: “Anda menunjuk saya?”
Maisarah: “Benar.”
Sa’id: “Apa keperluan Anda?”
Maisarah: “Amirul Mukminin terbangun dari tidur lalu berkata 
kepadaku. ‘Pergilah ke Masjid Nawabi dan lihatlah kalau-kalau ada 
seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari’.”
Sa’id: “Aku bukanlah orang yang beliau maksud.”
Maisarah: “Tetapi beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara.”
Sa’id: “Barangsiapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini
 ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagipula hadis 
lebih layak untuk didatangi, akan tetapi dia tidak mau mendatangi.”
Utusan itu kembali dan melapor kepada amirul mukminin, “Saya tidak 
menemukan kecuali seorang syaikh tua. Saya menunjuk kepadanya, tapi dia 
tak mau berdiri. Saya mendekatinya dan berkata, “Amirul Mukminin 
terbangun dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan 
hadis untukku, bawalah kemari.” Tetapi dia menjawab dengan tenang dan 
tegas, “Aku bukan yang dia maksud dan masjid ini cukup luas kalau dia 
menginginkan hadis.”
Abdul Malik menghela nafas panjang. Dia bangkit lalu masuk ke rumah sambil bergumam, “Pasti dia adalah Sa’id bin Musayyab. Kalau saja engkau tadi tidak menghampiri dan mengajaknya bicara…”
Ketika Abdul Malik telah meninggalkan majlis dan masuk kamar, 
putranya yang bungsu bertanya kepada kakaknya, “Siapakah orang yang 
berani menentang Amirul Mukminin dan menolak untuk menghadap itu, 
sedangkan dunia tunduk kepadanya dan raja-raja Romawi gentar oleh 
wibawanya?”
Maka berkatalah saudaranya yang paling besar, “Dia adalah orang yang 
putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, al-Walid, tetapi 
dia menolak menikahkannya.”
Adiknya berkata heran, “Benarkah ia tidak mau menikahkan putrinya 
dengan al-Walid bin Abdul Malik? Apakah dia mendapatkan pasangan untuk 
putrinya yang lebih layak dari calon pengganti Amirul mukminin dan 
khalifah? Atau dia seperti orang-orang yang menghalangi putrinya untuk 
menikah dan tinggal menganggur di dalam rumah?”
Berkatalah sang kakak, “Sebenarnya aku tidak mengetahui berita 
tentang mereka.” Seorang dari pengasuh mereka, yang berasal dari Madinah
 berkata, “Sekiranya diizinkan, saya akan menceritakan seluruh kisah 
itu.”
“Gadis itu telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya 
bernama Abu Wada’ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat kami.  
Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang 
diceritakan Abu Wada’ah sendiri kepada saya.” Orang-oarng berkata, 
“Ceritakanlah kepada kami.”
Said bin Musayyab Menikahkan Putrinya dengan Abu Wada’ah
Diapun berkata, “Abu Wada’ah bercerita kepada saya, ‘Sebagaimana Anda
 ketahui, aku adalah seorang yang tekun hadir di Masjid Nawabi untuk 
menuntut ilmu. Aku paling sering menghadiri halaqah Sa’id bin Musayyab 
dan suka mendesak orang-orang dengan siku bila mereka saling berdesakan 
dalam majelis itu. Namun pernah berhari-hari saya tidak menghadiri 
majelis tersebut. Beliau menduga saya sedang sakit atau ada yang 
menghalangiku untuk hadir. Beliau bertanya kepada beberapa orang di 
sekitarnya namun tidak pula mendapat berita tentang diriku.
Beberapa hari kemudian aku menghadiri majelis beliau kembali. Beliau segera memberi salam lalu bertanya,
Sa’id: “Kemana saja engkau, wahai Abu Wada’ah?”
Aku: “Istriku meninggal sehingga aku sibuk mengurusnya.”
Sa’id: “Kalau saja engkau memberi tahu aku wahai Abu Wada’ah, 
tentulah aku akan takziyah, menghadiri jenazahnya dan membantu segala 
kesulitanmu.
Aku: “Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda.”
Aku bermaksud pulang, namun beliau memintaku untuk menunggu sampai semua orang di majelis itu pulang, lalu beliau berkata,
Sa’id: “Apakah engkau saudah berfikir untuk menikah lagi wahai Abu Wada’ah?”
Aku: “Semoga Allah merahmati Anda, siapa gerangan yang mau menikahkan
 putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir 
dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki 
tak lebih dari dua atau tiga dirham saja.
Sa’id: “Aku akan menikahkan engkau dengan putriku.”
Aku: (terkejut dan terheran-heran) “Anda wahai Syaikh? Anda akan 
menikahkan putri Anda denganku padahal Anda telah mengetahui keadaanku 
seperti ini?”
Sa’id: “Ya, benar. Bila seseorang datang kepada kami dan kami suka 
kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau 
di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya. Lalu beliau menoleh kepada orang yang berdekatan dengan kami berdua, 
dan beliau memanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul di 
sekeliling kami, beliau bertahmid dan bershalawat, lalu menikahkan aku 
dengan putrinya, maharnya uang dua dirham saja.
Aku berdiri dan tak mampu berkata-kata lantaran heran bercampur 
gembira, lalu akupun bergegas untuk pulang. Saat itu aku sedang shaum 
hingga aku lupa akan shaumku. Kukatakan pada diriku sendiri: “Celaka 
wahai Abu Wada’ah, apa yang telah kau perbuat atas dirimu? Kepada siapa 
engkau akan meminjam uang untuk keperluanmua? Kepada siapa engkau akan 
meminta uang itu?”
Aku sibuk memikirkan hal itu hingga Maghrib tiba. Setelah ku tunaikan
 kewajibanku, aku duduk untuk menyantap makanan berbuka berupa roti dan 
zaitun. Selagi saya mendapatkan satu atau dua suapan, mendadak terdengar
 olehku ketukan pintu. Aku bertanya dari dalam, “Siapa?” Dia menjawab, 
“Sa’id.”
Demi Allah, ketika itu terlintas di benakku setiap nama Sa’id yang 
kukenal kecuali Sa’id bin Musayyab, sebab selama 20 tahun beliau tidak 
pernah terlihat kecuali di tempat antara rumahnya sampai dengan Masjid 
Nabawi.
Aku membuka pintu, ternyata yang berdiri di depanku adalah Imam 
asy-Syaikh Ibnu Musayyab. Aku menduga bahwa beliau mungkin menyesal 
karena tergesa-gesa dalam menikahkan purtinya lalu datang untuk 
membicarakannya denganku. Oleh sebab itu aku segera berkata:
Aku, “Wahai Abu Muhammad, mengapa Anda tidak menyuruh seseorang untuk memanggilku agar aku menghadap Anda?”
Sa’id: “Bahkan, engkaulah yang lebih layak didatangi.”
Aku: “Silakan masuk!”
Sa’id: “Tidak perlu, karena aku datang untuk suatu keperluan.”
Aku: “Apa keperluan Anda wahai Syaikh? Semoga Allah merahmati Anda?”
Sa’id: “Sesungguhnya putriku sudah menjadi istrimu berdasarkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala
 sejak tadi pagi. Maka aku tidak ingin membiarkanmu berada di tempatmu 
sedangkan istrimu di tempat yang lain. Oleh sebab itu kubawa dia 
sekarang.”
Aku: “Aduh, Anda sudah membawanya kemari?”
Sa’id: “Benar.”
Aku melihat ternyata istriku berdiri di belakangnya. Syaikh menoleh 
kepadanya lalu berkata, “Masuklah ke rumah suamimu dengan nama Allah dan
 berkah-Nya!”
Pada saat istriku hendak melangkah, tersangkut gaunnya sehingga 
nyaris terjatuh. Mungkin karena dia malu. Sedangkan aku hanya bisa 
terpaku di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Setelah tersadar, 
segera akan aku ambil piring berisi roti dan zaitun, kugeser ke belakang
 lampu agar dia tidak melihatnya.
Selanjutnya aku naik jendela atas rumah untuk memanggil para 
tetangga. Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, “Ada apa 
wahai Abu Wada’ah?” Aku bertanya, “Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh 
Sa’id bin Musayyab, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta 
kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab 
rumahnya jauh dari sini.”
Ada seseorang wanita tua di antara mereka berkata, “Sadarkah engkau 
dengan apa yang engkau ucapkan? Mana mungkin Sa’id bin Musayyab 
menikahkan engkau dengan putrinya, sedangkan pinangan al-Walid bin Abdul
 Malik putra Amirul Mukminin telah ditolak.”
Aku katakan, “Benar, Engkau akan melihatnya di rumahku. Datanglah dan buktikan.”
Beberapa tetanggaku berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak 
percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur istriku itu. Tak lama 
kemudian ibuku datang. Setelah melihat istriku, dia berpaling kepadaku 
seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku 
memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat.”
Aku katakan, “Terserah ibu.”
Istriku dibawa oleh ibuku. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali 
kepadaku. Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, 
paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah,
 juga paham akan hak-hak suami.
Sejak saat itu dia tinggal bersamaku. Selama beberapa hari ayah 
maupun keluarganya tidak ada yang datang. Kemudian aku datang lagi ke 
halaqah Syaikh di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, 
lalu diam. Setelah majelis sepi, tinggal kami berdua, beliau bertanya,
Sa’id: “Bagaimana keadaan istrimu, wahai Abu Wada’ah?”
Aku: “Dia dalam keadaan disukai oleh kawan dan dibenci oleh musuh.”
Sa’id: “Alhamdulillah.”
Sesudah kembali ke rumah, kudapati beliau telah mengirim banyak uang untuk membantu kehidupan kami…”
Mendengar kisah itu, putra-putra Abdul Malik berkomentar, “Sungguh 
mengherankan orang itu.” Orang yang bercerita itu berkata, “Apa yang 
mengherankan wahai tuan? Dia memang manusia yang menjadikan dunianya 
sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhiratnya. Dia membeli untuk 
diri dan keluarganya, akhirat dengan dunianya. Demi Allah, bukan karena 
beliau bakhil terhadap putra Amirul Mukminin dan bukannya beliau 
memandang bahwa al-Walid tidak sebanding dengan putrinya itu. Hanya saja
 beliau khawatir putrinya akan terpengaruh oleh fitnah dunia ini.
Beliau pernah ditanya oleh seorang kawannya, “Mengapakah Anda menolak
 pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan putrimu dengan orang awam?” 
Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka 
kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”
Beliau ditanya, “Apa maksud Anda wahai Syaikh?”
Beliau berkata, “Bagaimana pandangan kalian bila misalnya dia pindah 
ke istana Bani Umayah lalu bergelimang di antara ranjang dan perabotnya?
 Para pembantu dan dayang mengelilingi di sisi kanan dan kirinya dan dia
 mendapati dirinya sebagai istri khalifah. Bagaimana kira-kira keteguhan
 agamanya nanti?”
Ketika itu ada seseorang dari Syam berkomentar, “Tampaknya kawan 
kalian itu benar-benar lain dari yang lain.” Lalu laki-laki itu berkata,
 “Sungguh aku mengatakan yang sebenarnya. Beliau suka shaum di siang 
hari dan shalat di malam hari. Sudah hampir 40 kali beliau melaksanakan 
haji dan tak pernah ketinggalan melakukan takbir pertama di masjid 
Nabawi sejak 40 tahun yang silam. Juga tak pernah melihat punggung orang
 dalam shalatnya selama itu, karena selalu menjaga shaf pertama.
Kendati ada peluang bagi beliau untuk memilih istri dari golongan Quraisy, tetapi beliau lebih mengutamakan putri Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
 daripada wanita lain. Karena kedudukannya di sisi Rasulullah dan 
memiliki kekayaan mengenai riwayat hadis, yang beliau ingin juga 
mengambilnya. Sejak kecil beliau telah bernadzar untuk mencari ilmu.
Beliau mendatangi rumah istri-istri Rasulullah untuk memperolah ilmu 
dan berguru pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin 
Abbas. Beliau mendengar hadis dari Utsman, Ali, Suhaib dan para shahabat
 Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang lain. Beliau 
berakhlak dengan akhlak mereka dan berperilaku seperti mereka. Beliau 
selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari: 
“Tiada yang lebih menjadikan hamba berwibawa selain taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada yang lebih membuat hina seorang hamba dari bermaksiat kepada-Nya.”
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
