Sahabat..! Demikianlah Luhurnya Hudzaifah, manusia yang dapat CAHAYA dari CAHAYA DIATAS CAHAYA (Anta Nurun Fauqo Nuri)
Jika
kamu ingin digolongkan sebagai kaum muhajirin, maka kamu memang seorang
muhajir (orang yang hijrah). Jika kamu ingin digolongkan kaum anshar,
kamu memang seorang anshar. Pilihlah mana yang kamu sukai.”
Itulah
kalimat yang diucapkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam kepada
Hudzaifah Ibnul Yamani, ketika dia pertama kali bertemu muka dengan
beliau Shallallahu’alaihi wassalam di Mekkah.
Mengapa demikian ??????
Mengenai pilihan itu, ada cerita tersendiri.
Berikut
kisahnya. Al-Yaman adalah ayah Hudzaifah, ia berasal dari Bani Abbas di
kota Mekkah. Karena terlibat hutang darah dalam kaumnya, dia terpaksa
menyingkir dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah). Di sana dia minta
perlindungan kepada Bani Abd Asyhal dan bersumpah setia kepada mereka
untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani ‘Abd Asyhal. Kemudian dia
menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari perkawinannya itu
lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka hilanglah halangan yang menghambat
Al-Yaman untuk memasuki kota Mekkah. Sejak itu dia bebas pulang pergi
antara Mekkah dan Madinah. Namun begitu, dia lebih banyak tinggal dan
menetap di Madinah.
Ketika Islam memancarkan cahayanya ke
seluruh jazirah Arab, Al-Yaman termasuk salah seorang utusan dari
sepuluh orang Bani Abbas, untuk menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi
wassalam dan menyatakan Islam di hadapan beliau Shallallahu’alaihi
wassalam. Peristiwa tersebut terjadi sebelum hijrah Rasulullah ke
Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab,
yaitu menurut garis keturunan ayah, maka Hudzaifah adalah orang Mekkah
yang lahir dan dibesarkan di Madinah.
Hudzaifah Ibnul
Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam
pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama Allah Subhanahu
wata’ala. Karena itu, Hudzaifah telah memeluk agama Islam sebelum
bertemu Rasulullah .
Kerinduan Hudzaifah hendak bertemu dengan
Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memenuhi setiap rongga hatinya.
Dia senantiasa menunggu-nunggu berita, dan menyimak kepribadian dan
ciri-ciri Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Jika ada yang
menceritakan hal itu kepadanya, cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi wassalam semakin bertambah.
Karena
keinginan itu semakin menggebu-gebu, dia memutuskan untuk berangkat ke
Mekkah menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Saat itulah ia
bertanya kepada Rasulullah , “Apakah saya ini seorang Muhajir atau Anshar, ya Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam?”
“Jika
kamu ingin disebut Muhajir, kamu memang muhajir, dan jika kamu ingin
disebut Anshar, kamu memang orang Anshar. Pilihlah mana yang kamu suka!” ujar Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam.
“Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!” jawab Hudzaifah.
Setelah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam hijrah ke Madinah, Hudzaifah
selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut
bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam
perang Badar. Karena pada saat itu ia dan ayahnya sedang berada di luar
kota Madinah dan ditangkap oleh kaum kafir Quraisy. Mereka tidak
dibebaskan kecuali setelah berjanji untuk tidak memerangi kaum Quraisy.
Namun ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wassalam, beliau memerintahkan untuk membatalkan perjanjian dan minta
ampun kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Karena itu, ketika
terjadi perang Uhud, Hudzaifah turut memerangi kaum kafir bersama-sama
dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam peperangan itu Hudzaifah mendapat cobaan
besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya meninggal dunia di
medan Uhud. Yang sangat disayangkan, ayahnya mati syahid di tangan kaum
muslimin sendiri, bukan oleh kaum musyrikin.
Ceritanya,
pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam
menugaskan Al-Yaman dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat para
wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang
memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada temannya,
“Bagaimana pendapatmu, apalagi yang harus kita tunggu? Umur kita
sudah tua, tinggal menunggu detik saja. Kita mungkin saja mati hari ini
atau besok. Apakah tidak lebih baik kita ambil pedang, lalu menyerbu ke
tengah-tengah musuh membantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam.
Mudah-mudahan Allah memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama
dengan Nabi-Nya“. Lalu keduanya mengambil pedang dan terjun ke arena pertempuran.
Tsabit
bin Waqsy syahid di tangan kaum musyrikin. Tetapi Al-Yaman, menjadi
sasaran pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya.
Hudzaifah berteriak, “Itu bapakku!”, “Itu bapakku!”
Tetapi
sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya, sehingga bapaknya
jatuh tersungkur oleh pedang teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak
berkata apa-apa, kecuali hanya berdo’a, “Semoga Allah mengampuni kalian, Dia Maha Pengasih dari yang paling pengasih.”
Rasulullah
Shallallahu’alaihi wassalam memutuskan untuk membayar tebusan darah
(diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Namun Hudzaifah
menolak, “Bapakku menginginkan agar dia mati syahid. Keinginannya
itu kini telah tercapai. Ya Allah, saksikanlah! Sesungguhnya saya
menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.”
Mendengar
pernyataan itu, penghargaan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam
terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam. Rasulullah
Shallallahu’alaihi wassalam menilai dalam pribadi Hudzaifah terdapat
tiga keistimewaan yang menonjol.
Pertama, cerdas tiada bandingan, sehingga dia dapat meloloskan diri dari situasi yang serba sulit.
Kedua, cepat tanggap, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya kapan saja.
Ketiga, cermat dan teguh memegang rahasia dan berdisiplin tinggi, sehingga tak seorang pun dapat mengorek keterangan darinya.
Sudah
menjadi salah satu kebijak-sanaan Rasulullah , berusaha me-nyingkap
keistimewaan para sahabat-nya, dan menyalurkannya sesuai dengan bakat
dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yaitu
menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.
Kesulitan
terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum
Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan
muslihat jahat, yang dilancarkan mereka terhadap Rasulullah
Shallallahu’alaihi wassalam dan para sahabat. Dalam menghadapi kesulitan
itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam mempercayakan sesuatu yang
sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, dengan memberikan daftar
nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah
bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada para sahabat yang
lain atau kepada siapa saja.
Dengan mempercayakan hal yang
sangat rahasia itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menugaskan
Hudzaifah memantau setiap gerak dan kegiatan mereka untuk mencegah
bahaya yang mengancam kaum muslimin. Karena itu, Hudzaifah digelari oleh
para sahabat dengan ‘Shahibu Sirri Rasulullah’ (pemegang rahasia Rasulullah).
Pada
suatu ketika, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memerintahkan
Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang sangat berbahaya dan membutuhkan
keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah beliau
memilih orang yang cerdas, tanggap dan berdisiplin tinggi. Peristiwa itu
terjadi pada puncak peperangan Khandaq.
Kaum muslimin
telah lama dikepung rapat oleh musuh sehingga mereka merasakan ujian
yang berat, menahan penderitaan yang hampir tak tertanggungkan, serta
kesulitan-kesulitan yang tak teratasi semakin hari situasi semakin
gawat, sehingga menggoyahkan hati. Bahkan menjadikan sebagian kaum
muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah .
Namun
begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menentukan
itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik
tidak lebih baik keadaannya daripada yang dialami kaum muslimin. Karena
murka-Nya, maka Allah Subhanahu wata’ala menimpakan bencana kepada
mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah Subhanahu wata’ala meniupkan
angin topan yang sangat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah
mereka, membalikkan periuk, kuali dan belanga, memadamkan api, menyiram
muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan
tanah.
Dalam situasi genting dalam sejarah setiap
peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh, dan pihak
yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya.
Maka dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan info-info
secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan
landasan mengambil putusan dalam musyawarah.
Ketika itulah
Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memerlukan keterampilan
Hudzaifah, untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka beliau
Shallallahu’alaihi wassalam memutuskan untuk mengirim Hudzaifah ke
jantung pertahanan mush, dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Marilah
kita dengarkan dia bercerita, bagaimana dia melaksanakan tugas maut
tersebut.
Hudzaifah bertutur, “Malam itu kami (tentara
muslim) duduk berbaris. Saat itu, Abu Sufyan dan pasukannya kaum
musyrikin Mekkah mengepung kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami
alami gelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak
jari sendiri. Angin bertiup sangat kencang, sehingga desirnya
menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan
orang-orang munafik minta izin pulang kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi wassalam, dengan alasan rumah mereka tidak terkunci.
Padahal sebenarnya rumah mereka terkunci.
Setiap orang yang
meminta izin pulang, diperkenankan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
wassalam, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau Shallallahu’alaihi
wassalam. Semuanya keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang
tetap bertahan, hanya tinggal 300 orang.
Rasulullah
Shallallahu’alaihi wassalam berdiri dan berjalan memeriksa kami satu
persatu. Setelah beliau sampai di dekatku, saya sedang meringkuk
kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang
menusuk-nusuk, selain sehelai sarung butut kepunya-an istriku, yang
hanya dapat menu-tupi hingga lutut. Beliau mendekati-ku yang sedang
menggigil, seraya bertanya, “Siapa ini!”
“Hudzaifah!” Jawabku.
“Hudzaifah?” tanya Rasulullah minta kepastian.
Aku merapat ke tanah, malas ber-diri karena sangat lapar dan dingin, “Betul, ya Rasulullah!” jawabku.
“Ada
beberapa peristiwa yang di-alami musuh. Pergilah ke sana de-ngan
sembunyi-sembunyi untuk men-dapatkan data-data yang pasti, dan laporkan
kepadaku segera!” kata Be-liau memerintah.
Aku bangun dari
ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk, de-ngan diiringi do’a
Rasulullah , “Ya Allah, lindungilah dia dari hadapan, dari belakang,
kanan, kiri, atas dan dari bawah.”
Demi Allah! setelah Rasulullah
berdo’a, ketakutan yang menghantui dalam dadaku, dan kedinginan yang
menusuk-nusuk tubuhku hilang seke-tika, sehingga saya merasa segar dan
perkasa. Tatkala saya memalingkan diriku dari Rasulullah , beliau
me-manggilku dan berkata, “Hai, Hu-dzaifah! Sekali-kali jangan
melaku-kan tindakan yang mencurigakan me-reka sampai tugasmu selesai,
dan kembali melapor kepadaku!”
Jawabku, “Saya siap, ya Rasulul-lah!”
Lalu
saya pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam
kegelapan malam yang hitam kelam. Saya berhasil menyusup ke jantung
pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah saya anggota pasukan
mereka. Belum lama saya berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba
ter-dengar Abu Sufyan memberi koman-do.
“Hai pasukan
Quraisy, dengarkan saya berbicara kepada kamu sekalian. Saya sangat
khawatir apa yang akan kusampaikan ini didengar oleh Mu-hammad atau
pengikutnya. Karena itu telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada
di samping kalian ma-sing-masing!”
Mendengar ucapan Abu Sufyan itu, saya segera memegang tangan orang yang di sampingku seraya ber-tanya, “Siapa kamu?”
Jawabnya, “Aku si Anu anak si Anu!”
Sesudah
dirasanya aman, Abu Su-fyan melanjutkan bicaranya, “Hai pa-sukan
Quraisy, Demi Tuhan, sesung-guhnya kita tidak dapat bertahan di sini
lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani
Quraizhah berkhianat me-ninggalkan kita. Angin topan menye-rang kita
dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu berangkatlah ka-lian
sekarang, dan tinggalkan tempat ini. Saya sendiri akan berangkat
se-karang.”
Selesai berkata begitu, Abu Suf-yan langsung mendekati
untanya. Di-lepaskannya tali penambat binatang itu, lalu dinaiki dan
dipacunya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya
Rasulullah tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah
sebelum datang melapor kepada beliau, sung-guh telah kubunuh Abu Sufyan
de-ngan pedangku.
Aku kembali ke pos komando me-nemui
Rasulullah . Kudapati beliau sedang shalat di tikar kulit, milik sa-lah
seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya
kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu
kulaporkan kepada beliau sega-la kejadian yang kulihat dan kude-ngar.
Beliau sangat senang dan ber-suka hati, serta mengucapkan puji dan
syukur kepada Allah .
Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat
dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang mu-nafik selama
hidupnya. Sehingga ke-pada para khalifah sekalipun, yang mencoba
mengorek rahasia tersebut tidak pernah bocor olehnya. Pada saat
pemerintahan Umar bin Khattab , jika ada orang muslim yang me-ninggal,
Umar bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jena-zah orang
itu?” jika mereka menja-wab, ada, beliau turut menyalatkan-nya. Bila
mereka katakan tidak, beliau enggan menyalatkannya.
Pada
suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzai-fah dengan
cerdik, “Adakah dianta-ra pegawai-pegawaiku orang muna-fik?”
Jawab Hudzaifah, “Ada seorang!”
Kata Umar, “Tolong tunjukkan ke-padaku, siapa?”
Jawab Hudzaifah, “Maaf Khalifah saya dilarang Rasulullah menga-takannya.”
“Seandainya aku tunjukkan, ten-tu khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.
Selain
itu, Hudzaifah juga adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dai-nawar,
Hamadzan, dan Rai. Dia mem-bebaskan kota-kota tersebut bagi kaum
muslimin dari genggaman ke-kuasaan Persia yang menuhankan berhala.
Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragam-an mushaf
Al-Qur’an.
Ketika Hudzaifah sakit keras men-jelang ajalnya
tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya te-ngah malam.
Hudzaifah bertanya ke-pada mereka, “Pukul berapa seka-rang?”
Jawab mereka, “Sudah dekat Su-buh.”
Kata Hudzaifah, “Aku berlindung kepada Allah, dari subuh yang me-nyebabkan saya masuk neraka.”
Kemudian dia bertanya, “Adakah Tuan-tuan membawa kafan?”
Jawab mereka, “Ada!”
Kata
Hudzaifah, “Tidak perlu ka-fan yang mahal. Jika diriku baik da-lam
penilaian Allah , Dia akan meng-gantinya untukku dengan kafan yang lebih
baik. Dan jika saya tidak baik dalam pandangan Allah , Dia akan
menanggalkan kafan itu dari tubuh-ku.”
Sesudah itu dia
berdo’a, “Wahai Allah ! sesungguhnya Engkau tahu, bahwa saya lebih suka
fakir daripada kaya, saya lebih suka sederhana dari-pada
bermewah-mewahan, dan saya lebih suka mati daripada hidup.” Setelah
mem-baca doa itu, ruhnya pun pergi meninggalkan jasadnya. Selamat jalan
intel dan Pembisik Rasulullah
Rodhiyallahu ‘anhu wa ‘an jamii’isshohabah, wa ‘annaa ma’ahum birohmatika ya Arhamar Roohimiin