Senin, 19 Mei 2014

BILA DAPAT CAHAYA DARI CAHAYA DIATAS CAHAYA

Sahabat..! Demikianlah Luhurnya Hudzaifah, manusia yang dapat CAHAYA dari CAHAYA DIATAS CAHAYA (Anta Nurun Fauqo Nuri)

Jika kamu ingin digolongkan sebagai kaum muhajirin, maka kamu memang seorang muhajir (orang yang hijrah). Jika kamu ingin digolongkan kaum anshar, kamu memang seorang anshar. Pilihlah mana yang kamu sukai.”

Itulah kalimat yang diucapkan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam  kepada Hudzaifah Ibnul Yamani, ketika dia pertama kali bertemu muka dengan beliau Shallallahu’alaihi wassalam di Mekkah.

Mengapa demikian ??????
Mengenai pilihan itu, ada cerita tersendiri.

Berikut kisahnya. Al-Yaman adalah ayah Hudzaifah, ia berasal dari Bani Abbas di kota Mekkah. Karena terlibat hutang darah dalam kaumnya, dia terpaksa menyingkir dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah). Di sana dia minta perlindungan kepada Bani Abd Asyhal dan bersumpah setia kepada mereka untuk menjadi keluarga dalam persukuan Bani ‘Abd Asyhal. Kemudian dia menikah dengan anak perempuan suku Asyhal. Dari perkawinannya itu lahirlah anaknya, Hudzaifah. Maka hilanglah halangan yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota Mekkah. Sejak itu dia bebas pulang pergi antara Mekkah dan Madinah. Namun begitu, dia lebih banyak tinggal dan menetap di Madinah.

Ketika Islam memancarkan cahayanya ke seluruh jazirah Arab, Al-Yaman termasuk salah seorang utusan dari sepuluh orang Bani Abbas, untuk menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam dan menyatakan Islam di hadapan beliau Shallallahu’alaihi wassalam. Peristiwa tersebut terjadi sebelum hijrah Rasulullah  ke Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang berlaku di negeri Arab, yaitu menurut garis keturunan ayah, maka Hudzaifah adalah orang Mekkah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.

Hudzaifah Ibnul Yaman lahir di rumah tangga muslim, dipelihara dan dibesarkan dalam pangkuan kedua ibu bapaknya yang telah memeluk agama Allah Subhanahu wata’ala. Karena itu, Hudzaifah telah memeluk agama Islam sebelum bertemu Rasulullah .
Kerinduan Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memenuhi setiap rongga hatinya. Dia senantiasa menunggu-nunggu berita, dan menyimak kepribadian dan ciri-ciri Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Jika ada yang menceritakan hal itu kepadanya, cinta dan kerinduannya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam semakin bertambah.

Karena keinginan itu semakin menggebu-gebu, dia memutuskan untuk berangkat ke Mekkah menemui Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Saat itulah ia bertanya kepada Rasulullah , “Apakah saya ini seorang Muhajir atau Anshar, ya Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam?
Jika kamu ingin disebut Muhajir, kamu memang muhajir, dan jika kamu ingin disebut Anshar, kamu memang orang Anshar. Pilihlah mana yang kamu suka!” ujar Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam.
Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!” jawab Hudzaifah.

Setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam perang Badar. Karena pada saat itu ia dan ayahnya sedang berada di luar kota Madinah dan ditangkap oleh kaum kafir Quraisy. Mereka tidak dibebaskan kecuali setelah berjanji untuk tidak memerangi kaum Quraisy. Namun ketika hal itu disampaikan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam, beliau memerintahkan untuk membatalkan perjanjian dan minta ampun kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Karena itu, ketika terjadi perang Uhud, Hudzaifah  turut memerangi kaum kafir bersama-sama dengan ayahnya, Al-Yaman. Dalam peperangan itu Hudzaifah mendapat cobaan besar. Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya meninggal dunia di medan Uhud. Yang sangat disayangkan, ayahnya mati syahid di tangan kaum muslimin sendiri, bukan oleh kaum musyrikin.

Ceritanya, pada hari terjadinya perang Uhud, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menugaskan Al-Yaman dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat para wanita dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada temannya, “Bagaimana pendapatmu, apalagi yang harus kita tunggu? Umur kita sudah tua, tinggal menunggu detik saja. Kita mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik kita ambil pedang, lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam. Mudah-mudahan Allah  memberi kita rezeki menjadi syuhada bersama-sama dengan Nabi-Nya“. Lalu keduanya mengambil pedang dan terjun ke arena pertempuran.

Tsabit bin Waqsy syahid di tangan kaum musyrikin. Tetapi Al-Yaman, menjadi sasaran pedang kaum muslimin sendiri, karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah  berteriak, “Itu bapakku!”, “Itu bapakku!
Tetapi sayang, tidak seorang pun yang mendengar teriakannya, sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh pedang teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya berdo’a, “Semoga Allah  mengampuni kalian, Dia Maha Pengasih dari yang paling pengasih.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada anaknya, Hudzaifah. Namun Hudzaifah menolak, “Bapakku menginginkan agar dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah tercapai. Ya Allah, saksikanlah! Sesungguhnya saya menyedekahkan diyat darah bapakku kepada kaum muslimin.

Mendengar pernyataan itu, penghargaan Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam. Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menilai dalam pribadi Hudzaifah terdapat tiga keistimewaan yang menonjol.

Pertama, cerdas tiada bandingan, sehingga dia dapat meloloskan diri dari situasi yang serba sulit.
Kedua, cepat tanggap, tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya kapan saja.
Ketiga, cermat dan teguh memegang rahasia dan berdisiplin tinggi, sehingga tak seorang pun dapat mengorek keterangan darinya.

Sudah menjadi salah satu kebijak-sanaan Rasulullah , berusaha me-nyingkap keistimewaan para sahabat-nya, dan menyalurkannya sesuai dengan bakat dan kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yaitu menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.
Kesulitan terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan muslihat jahat, yang dilancarkan mereka terhadap Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam dan para sahabat. Dalam menghadapi kesulitan itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam mempercayakan sesuatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, dengan memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja.

Dengan mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam menugaskan Hudzaifah memantau setiap gerak dan kegiatan mereka untuk mencegah bahaya yang mengancam kaum muslimin. Karena itu, Hudzaifah digelari oleh para sahabat dengan ‘Shahibu Sirri Rasulullah’ (pemegang rahasia Rasulullah).

Pada suatu ketika, Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas yang sangat berbahaya dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk mengatasinya. Karena itulah beliau memilih orang yang cerdas, tanggap dan berdisiplin tinggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan Khandaq.

Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh sehingga mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tak tertanggungkan, serta kesulitan-kesulitan yang tak teratasi semakin hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati. Bahkan menjadikan sebagian kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar terhadap Allah .

Namun begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menentukan itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik tidak lebih baik keadaannya daripada yang dialami kaum muslimin. Karena murka-Nya, maka Allah Subhanahu wata’ala menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan kekuatannya. Allah Subhanahu wata’ala meniupkan angin topan yang sangat dahsyat, sehingga menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kuali dan belanga, memadamkan api, menyiram muka mereka dengan pasir dan menutup mata dan hidung mereka dengan tanah.

Dalam situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah ialah yang lebih dahulu mengeluh, dan pihak yang menang ialah yang dapat bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Maka dalam detik-detik seperti itu, amat diperlukan info-info secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk menetapkan penilaian dan landasan mengambil putusan dalam musyawarah.

Ketika itulah Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam memerlukan keterampilan Hudzaifah, untuk mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka beliau Shallallahu’alaihi wassalam memutuskan untuk mengirim Hudzaifah ke jantung pertahanan mush, dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan dia bercerita, bagaimana dia melaksanakan tugas maut tersebut.

Hudzaifah bertutur, “Malam itu kami (tentara muslim) duduk berbaris. Saat itu, Abu Sufyan dan pasukannya kaum musyrikin Mekkah mengepung kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari sendiri. Angin bertiup sangat kencang, sehingga desirnya menimbulkan suara bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik minta izin pulang kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam, dengan alasan rumah mereka tidak terkunci. Padahal sebenarnya rumah mereka terkunci.
Setiap orang yang meminta izin pulang, diperkenankan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam, tidak ada yang dilarang atau ditahan beliau Shallallahu’alaihi wassalam. Semuanya keluar dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan, hanya tinggal 300 orang.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam berdiri dan berjalan memeriksa kami satu persatu. Setelah beliau sampai di dekatku, saya sedang meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi tubuhku dari udara dingin yang menusuk-nusuk, selain sehelai sarung butut kepunya-an istriku, yang hanya dapat menu-tupi hingga lutut. Beliau mendekati-ku yang sedang menggigil, seraya bertanya, “Siapa ini!”
“Hudzaifah!” Jawabku.
“Hudzaifah?” tanya Rasulullah minta kepastian.
Aku merapat ke tanah, malas ber-diri karena sangat lapar dan dingin, “Betul, ya Rasulullah!” jawabku.
“Ada beberapa peristiwa yang di-alami musuh. Pergilah ke sana de-ngan sembunyi-sembunyi untuk men-dapatkan data-data yang pasti, dan laporkan kepadaku segera!” kata Be-liau memerintah.
Aku bangun dari ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk, de-ngan diiringi do’a Rasulullah , “Ya Allah, lindungilah dia dari hadapan, dari belakang, kanan, kiri, atas dan dari bawah.”
Demi Allah! setelah Rasulullah  berdo’a, ketakutan yang menghantui dalam dadaku, dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang seke-tika, sehingga saya merasa segar dan perkasa. Tatkala saya memalingkan diriku dari Rasulullah , beliau me-manggilku dan berkata, “Hai, Hu-dzaifah! Sekali-kali jangan melaku-kan tindakan yang mencurigakan me-reka sampai tugasmu selesai, dan kembali melapor kepadaku!”
Jawabku, “Saya siap, ya Rasulul-lah!”
Lalu saya pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam kegelapan malam yang hitam kelam. Saya berhasil menyusup ke jantung pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah saya anggota pasukan mereka. Belum lama saya berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba ter-dengar Abu Sufyan memberi koman-do.

“Hai pasukan Quraisy, dengarkan saya berbicara kepada kamu sekalian. Saya sangat khawatir apa yang akan kusampaikan ini didengar oleh Mu-hammad atau pengikutnya. Karena itu telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping kalian ma-sing-masing!”
Mendengar ucapan Abu Sufyan itu, saya segera memegang tangan orang yang di sampingku seraya ber-tanya, “Siapa kamu?”
Jawabnya, “Aku si Anu anak si Anu!”

Sesudah dirasanya aman, Abu Su-fyan melanjutkan bicaranya, “Hai pa-sukan Quraisy, Demi Tuhan, sesung-guhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi. Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah berkhianat me-ninggalkan kita. Angin topan menye-rang kita dengan ganas seperti kalian rasakan. Karena itu berangkatlah ka-lian sekarang, dan tinggalkan tempat ini. Saya sendiri akan berangkat se-karang.”
Selesai berkata begitu, Abu Suf-yan langsung mendekati untanya. Di-lepaskannya tali penambat binatang itu, lalu dinaiki dan dipacunya. Unta itu bangun dan Abu Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah  tidak melarangku melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada beliau, sung-guh telah kubunuh Abu Sufyan de-ngan pedangku.

Aku kembali ke pos komando me-nemui Rasulullah . Kudapati beliau sedang shalat di tikar kulit, milik sa-lah seorang istrinya. Tatkala beliau melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu kulaporkan kepada beliau sega-la kejadian yang kulihat dan kude-ngar. Beliau sangat senang dan ber-suka hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah .

Hudzaifah Ibnul Yaman sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang mu-nafik selama hidupnya. Sehingga ke-pada para khalifah sekalipun, yang mencoba mengorek rahasia tersebut tidak pernah bocor olehnya. Pada saat pemerintahan Umar bin Khattab , jika ada orang muslim yang me-ninggal, Umar  bertanya, “Apakah Hudzaifah  turut menyalatkan jena-zah orang itu?” jika mereka menja-wab, ada, beliau turut menyalatkan-nya. Bila mereka katakan tidak, beliau enggan menyalatkannya.

Pada suatu ketika, Khalifah Umar  pernah bertanya kepada Hudzai-fah dengan cerdik, “Adakah dianta-ra pegawai-pegawaiku orang muna-fik?”
Jawab Hudzaifah, “Ada seorang!”
Kata Umar, “Tolong tunjukkan ke-padaku, siapa?”
Jawab Hudzaifah, “Maaf Khalifah saya dilarang Rasulullah  menga-takannya.”
“Seandainya aku tunjukkan, ten-tu khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.
Selain itu, Hudzaifah juga adalah pahlawan penakluk Nahawand, Dai-nawar, Hamadzan, dan Rai. Dia mem-bebaskan kota-kota tersebut bagi kaum muslimin dari genggaman ke-kuasaan Persia yang menuhankan berhala. Hudzaifah juga termasuk tokoh yang memprakarsai keseragam-an mushaf Al-Qur’an.

Ketika Hudzaifah sakit keras men-jelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya te-ngah malam. Hudzaifah bertanya ke-pada mereka, “Pukul berapa seka-rang?”
Jawab mereka, “Sudah dekat Su-buh.”
Kata Hudzaifah, “Aku berlindung kepada Allah, dari subuh yang me-nyebabkan saya masuk neraka.”
Kemudian dia bertanya, “Adakah Tuan-tuan membawa kafan?”
Jawab mereka, “Ada!”
Kata Hudzaifah, “Tidak perlu ka-fan yang mahal. Jika diriku baik da-lam penilaian Allah , Dia akan meng-gantinya untukku dengan kafan yang lebih baik. Dan jika saya tidak baik dalam pandangan Allah , Dia akan menanggalkan kafan itu dari tubuh-ku.”

Sesudah itu dia berdo’a, “Wahai Allah ! sesungguhnya Engkau tahu, bahwa saya lebih suka fakir daripada kaya, saya lebih suka sederhana dari-pada bermewah-mewahan, dan saya lebih suka mati daripada hidup.” Setelah mem-baca doa itu, ruhnya pun pergi meninggalkan jasadnya. Selamat jalan intel dan Pembisik Rasulullah

Rodhiyallahu ‘anhu wa ‘an jamii’isshohabah, wa ‘annaa ma’ahum birohmatika ya Arhamar Roohimiin