Senin, 30 Januari 2012

Buah Anak Shalih dari Pohon Orang Tua Yang Shalih

Anda tentu mengenal nama Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, salah seorang ulama besar, dan termasuk salah satu dari imam empat mazhab. Ada kisah menarik, berkaitan dengan ayahnda beliau, kisah ini bermula di saat beliau belum lahir.
Pada abad pertama hijiriah, terdapat seorang pemuda yang mengabdikan dirinya untuk menuntut ilmu syar’i, tetapi ia sangat miskin. Suatu hari ketika ia merasa sangat lapar dan tidak mendapatkan sesuatu apapun yang bisa dimakan. Ia berusaha mencari makanan di luar rumahnya. Kemudian, ia berhenti di pinggir Sungai ternyata ia menemukan sebuah apel. yang menggoda perutnya. Karena sangat lapar, ia terdorong untuk memakan apel tersebut, apalagi ia merasa perlu untuk mempertahankan raganya. Ia juga berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang melihatnya, disamping ia juga merasa bahwa sang pemilik apel itu tidak akan kehilanga dengan sebab satu biji apel saja. Maka, ia beranikan diri untuk mengambil buah apel 
Ketika baru memakan satu gigitan, jiwanya mulai mencacinya. Beginilah contoh kondisi seorang mukmin yang tidak bisa tenang jika telah melakukan pelanggaran. Ia duduk termenung sambil berkata,
“Bagaimana aku bisa memakan buah apel itu padahal itu adalah harta seorang orang lain, dan aku belum meminta izin kepadanya? Bagaimana aku bisa dikabulkan doa sedangkan makananku makanan haram? Tidaklah diterima ibadahku selama 40 hari karena apel ini karena ia menyatu dalam darahku?
Akhirnya, pemuda tersebut pergi menyusuri kali itu dan tampak seorang yang lewat dan ia bertanya : Pak kiranya bapak bisa menunjukkan siapa pemilik kebun apel di sekitar sini? " "wahai kisanak kebun apel itu terletak di pinggir kota, kiranya masih agak jauh dari sini, silahkan ikuti jalan ini". sambil menunjukkan arak ke kota ia menjawab. lalu sang pemuda itu mencari pemilik kebun sampai ke kota kemudian ia melihat sebuah kebun yang dipenuhi oleh pohon apel dan didapatkkannya seorang yang lagi mengurusinya, pikirnya ia seorang pemilik kebun itu.
Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan separuh dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadam (pembantu)-nya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya".
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam".
 Ia lalu bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam  sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Pemuda itu pun  pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, sesampainya di rumah sang pemilik kebun ia lalu menemuinya di teras rumahnya dengan terus memohon kepada si pemilik kebun untuk menghalalakan apel itu, sedangkan pemilik kebun justru semakin bersikukuh, lalu pergi meninggalkannya. Namun, pemuda itu membuntutinya dan tetap memohon maaf kepadanya hingga ia masuk rumah. Pemuda itu menunggu di sisi pintu, memantinya keluar untuk shalat Ashar. Ketika si pemilik kebun keluar rumah untuk suatu urusan, pemuda itu ternyata masih tetap berdiri dan menantinya langsung ia memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?"
Lelaki tua yang ada dihadapan Pemuda itu mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ? sungguh aku siap untuk bekerja sebagai petani di kebun ini tanpa diberi upah sepanjang umurku atau apa saja yang kamu inginkan, tetapi dengan syarat Anda memaafkanku dan menghalalkan apel itu untukku.” Sambil menampakkan sisa apel yang sudah busuk itu. "Baik, kalau begitu kamu harus mencangkul tanah saya?"
Selang beberapa hari Tsabit kembali dan berkata: "sudah tuan, adakah syarat lagi, yang penting apel itu halal bagiku?"
"Baik, kalau begitu kamu harus menanam padi  dan mengurusinya sampai panen tiba?" "Baiklah Tuan, Demi Allah aku ingin tuan halalin apa yang ada dalam darah dagingku dari intisari apel itu". 
Tibalah Saatnya panen, sang pemuda itu kembali lagi dan bertanya "adakah syarat lagi tuan?
Pada saat itu, pemilik kebun berpikir sejenak, kemudian berkata,
“Anakku, aku siap untuk memaafkanmu sekarang, tetapi dengan satu syarat.”
Mendengar itu, si pemuda langsung gembira adn wajahnya berseri bahagia. Dia berkata,
”Berikanlah syarat sesukamu wahai pamanku.”
Si pemilik kebun berkata,
”Syaratku adalah supaya Kamu menikahi putriku.”
Pemuda itu terperanjat bukan kepalang mendengar jawaban itu. Dia sama sekali tidak pernah menyangka mendapat syarat ini. Namun, si pemilik kebun melanjutkan perkataannya,
” Akan tetapi, wahai anakku, ketahuilah bahwa putriku buta, tuli, bisu, dan juga lumpuh, tidak pernah berjalan sejak lama. Aku telah mencarikannya seorang suami yang dapat kupercaya untuk melindungi dan mendampinginya dengan segenap kriteria-kriteria yang disebutkannya. Apabila Kamu menyetujuinya, aku akan menghalalkan dan memaafkanmu.”
Pemuda itu kembali terperanjat bukan kepalang dan merasa mendapat musibah yang kedua kalinya. Dia mulai berpikir bagaimana ia akan hidup dengan ketidaksempurnaan seperti ini, terlebih dia masih berusia belia? Bagaimana istrinya nanti akan melaksanakan urusan-urusannya, menjaga rumah dan memerhatikannya, sedangkan ia memiliki kekurangan-kekurangan tersebut?
Dia mulai memperhitungkan dan berkata,
“Aku akan bersabar atasnya di dunia agar aku selamat dari petaka apel tersebut.”
Kemudian, ia berkata kepada pemilik kebun,
“Wahai paman, aku telah menerima putrimu. Aku memohon kepada Allah semoga Dia memberiku pahala atas niatku dan memberiku ganti yang lebih baik dari yang kuterima.”
Pemilik kebun berkata, “Baiklah anakku, waktumu hari Kamis depan di rumahku untuk pesta pernikahanmu. Aku yang menanggung maharmu.”
Hari kamis pun tiba. Pemuda datang dengan langkah berat, batin sedih, dan hati hancur, tidak seperti layaknya calon pengantin yang pergi menuju hari pernikahannya. Ketika ia mengetuk pintu, bapak sang wanita membukakannya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah berbicang-bincang, ia berkata kepadanya,
“Anakku, silahkan masuk kepada istrimu. “Semoga Allah memberkahimu dalam kebahagiaan dan kesusahanmu, dan mengumpulkan kalian berdua di atas kebaikan.”
Lalu, ia memegang tangan si pemuda dan membawanya ke kamar putrinya. Ketika si pemuda membuka pintu dan melihat istrinya, ternyata ia justru mendapati seorang gadis putih yang sangat cantik, dengan rambut terurai seperti sutra di atas pundaknya. Istrinya itu langsung bangkit, ternyata ia berperawakan tegak. Kemudian, ia berjalan ke arah suaminya dan memberinya salam, “Assalamu’alaikum suamiku…”
Si pemuda tetap berdiri di tempatnya sambil memerhatikan gadis yang baru ditemuinya itu. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Namun, gadis itu memahami apa yang berputar di benak suaminya. Ia menghampirinya, menjabat tangannya, dan mencium tangannya, lalu berkata,
“Sesungguhnya aku adalah buta dari melihat yang haram…”
… bisu dan tuli dari mendengar hal yang haram …
… dan kedua kakiku tidak pernah melangkah kepada hal yang haram …
… Aku adalah anak semata wayang bapakku. Sejak beberapa tahun lalu, bapakku mencarikanku suami yang shalih. Maka, ketika Kamu datang meminta izin kepadanya karena satu buah apel dan kamu menangis karenanya, bapakku mengatakan bahwa barangsiapa takut memakan satu buah apel yang tidak hala baginya, pasti dia akan lebih takut kepada Allah dalam menjaga putriku, katanya …
Alangkah bahagianya aku yang telah mendapatkanmu sebagai suami, dan alangkah bahagianya ayahku dengan nasabmu”
…………….
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا () وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”
(Ath-Thalaq: 2-3)
Kemudian, setelah setahun berlalu, sang istri dikaruniani seorang anak hasil hasil benih yang ditanam pemuda yang termasuk orang-orang langka umat ini. Tahukah Anda siapakah anak kecil itu? Anak kecil itu adalah Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit, ahli fiqh mazhab Islam yang mahsyur. Ulama besar yang keilmuannya terpandang di kalangan para bangsawan. Dialah ulama yang karena kewara’annya, dicambuk oleh Ibnu Hubairah (pegawai pemerintah di bawah Khalifah Bani Umayyah) sebanyak 110 cambukan karena menolak diangkat sebagai pegawai negeri dengan jabatan prestisius, Hakim. Dialah ulama yang dipenjara khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, karena menolak iming-iming untuk dijadikan hakim pula.
* Dan kita bisa mengambil pelajaran bahwa benarlah  apa yang dikatakan Syaikh Musthafa Al-’Adawi -hafizhohullah- (dalam Fiqh Tarbiyautl Abna’) bahwa,
Kebaikan dan amal shalih kedua orang tua, memiliki pengaruh yang besar terhadapa perkembangan seorang anak, dan bermanfaat bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Demikian pula amal buruk dan dosa-dosa besar yang dilakukan oleh kedua orang tua, memiliki dampak negatif terhadap pendidikan anak.

Tidak ada komentar: