Di Gunung Sari nama Kiai Hasyim Adnan tersohor sebagai ulama muda yang mempunyai karamah. Ia sering dimintai tolong untuk mendoakan orang sakit atau kesusahan. Banyak juga yang minta air kalau ada seorang wanita keluarga mereka sulit melahirkan. Dan biasanya, entah dengan bacaan apa saja, begitu diberi minum air yang diberikan Kiai Hasyim Adnan, tidak berapa lama kemudian bayi pun akan keluar dengan mudah.
Suatu ketika Kiai Hasyim Adnan bepergian ke luar kota bersama keluarganya. Saya yang menunggui rumahnya, sendirian. Tengah malam ada tetangga sebelah rumah yang mengetuk pintu. Dengan wajah cemas Mbak Puji, demikian namanya, minta tolong kepada saya supaya dimintakan air kepada Kiai Hasyim Adnan untuk anaknya yang sedang step atau kejang-kejang. Saya jawab, "Kiai tidak ada di rumah, Mbak." Mbak Puji kebingungan. Mau cari dokter, hari Sudah kelewat malam. Jadi, kepada siapa lagi dia akan minta bantuan ? "Kalau begitu. Ustaz Abdurrahman saja, ya. Kan sama, yang penting doanya," desak Mbak Puji. "Soalnya, saya sendiri dan keluarga saya tidak ada yang bisa baca doa." Saya memang tahu, keluarga Mbak Puji hanya Islam abangan.
Sama dengan saya, yang rajin sembahyang sesudah menjadi ipar Kiai Hasyim Adnan. Tadinya saya juga Islam wala-wala, wala sembahyang wala puasa. Jadi, bagaimana saya bisa membacakan doa untuk kesembuhan orang lain? Sedangkan doa untuk diri sendiri saja belum tentu diterima. Maklum, maksiat saya masih berjibun. Agak untung saya sekarang dipanggil ustaz. Gara-gara jadi menantu Kiai. Padahal saya baru hafal satu-dua ayat, itu pun masih salah-salah, belum lancar betul. Memang, saya pernah mengecap pendidikan pesantren, tetapi saya termasuk santri yang paling badung.
Lebih banyak nonton bioskop daripada ngaji. Dan di Buntet, lebih banyak belajar silat daripada baca kitab. Cuma saya mau menjawab apa? Akan bilang saya tidak bisa baca doa, kayaknya tidak pantas. Masak sudah dipanggil ustaz tidak becus baca doa? Lagipula akan menjatuhkan pamor istri saya yang terkenal sebagai singa betina di mimbar-mimbar agama. Bahkan waktu itu, ia pun sedang berada di Kalimantan untuk memberikan ceramah di sana selama seminggu
Pikir punya pikir, akhirnya saya temukan akal bagus. Dengan dekdekan saya berkata, "Coba ya, Mbak Puji. Akan saya lihat-lihat di kamar Kiai, barangkali ada air yang tertinggal." Mbak Puji kelihatan gembira sekali. Wajahnya berubah terang, penuh harapan. ayalah yanq justru makin berdebar-debar sebab yang saya rencanakan adalah sebuah kebohongan. Tapi, ah, saya akan memohon betul kepada Tuhan, dan akan berjanji. bila rencana itu dapat memberi manfaat bagi anak Mbak Puji yang sedang sakit, saya akan bertobat dengan sungguh-sungguh.
Saya pun masuk ke dalam. Saya isikan air masak ke dalam sebuah botol lalu saya bacakan Fatihah, satu-satunya surah yang saya hafal dengan lancar selain beberapa surah pendek lainnya. Saya baca terus-menerus, tanpa saya hitung jumlahnya. seraya berdoa. "Ya Allah, selamatkanlah anak Mbak Puji, bukan untuk menaikkan namaku di depannya, melainkan untuk mengagungkan asma-Mu. Mudah-mudahan jika kauperkenankan doaku ini, Mbak Puji dan segenap keluarganya akan menjadi Muslim yang baik dan selalu mengabdi ke hadirat-Mu..'
Setelah saya merasa bahwa doa saya sudah cukup mantap dan telah saya lakukan dengan sungguh-sungguh. barulah saya keluar dan saya serahkan botol berisi air masak itu kepadanya. Saya pun berkata, "Al-hamdulillah, ternyata masih tersisa air yang sudah diberi doa Kiai Hasyim Adnan satu botol ini. Cobalah minumkan kepada anak Mbak Puji, semoga Allah menyembuhkannya." Langsung saja botol itu diterima dengan gembira oleh Mbak Puji. Mungkin saking gembiranya, sampai ia lupa mengucapkan terima kasih kepada saya. Akibatnya, saya juga lupa memesankan sesuatu kepadanya. Maksud saya, akan saya pesan wanti-wanti agar Mbak Puji tidak usah menyampaikan terima kasih kepada Kiai Hasyim Adnan andaikata anaknya betul-betul sembuh. Jadinya saya akan mengatakan begini: "Mbak, Kiai Hasyim Adnan tidak suka dipuji karena yang menyem:. buhkan hanyalah Allah. Jadi nanti, kalau Kiai pulang, tidak usah bilang apa-apa kepadanya."
Rencana yang sudah saya susun itu gagal total karena saya tidak ingat lagi gara-gara jantung saya hampir copot memikirkan kebohongan saya itu. Tiga hari kemudian, ketika Kiai Hasyim sudah pulang, dan ketika saya sedang duduk-duduk dengannya di teras rumah, Mbak Pujrmuncul sambil membawa talam berisi makanan. Mukanya cerah,malahan kelihatan lebih manis karena saat itu memakai kerudung. Sebelumnya tidak pernah
Setelah memberi salam, Mbah puji betkata, "Saya mengucapkan terima kasih kepada Kiai karena......." Cepat-cepat saya potong, "Bagaimana anak Mbak Puji, sudah sembuh?" Mbak Puji menjawab, "Itulah sebabnya saya kemari. Anak saya udah sehat sekarang. Ya, ltulah berkat." air. ...
Segera saya potong lagi, "Oh, berkat air zamzam yang dibawa pulang oleh Haji Karim dari Mekah ?" "Bukan, air yang sudah diberi doa oleh Kiai," ujar Mbak Puji seraya kepalanya menunduk-nunduk kepada Kiai Hasyim Adnan. Saya lihat abang ipar saya itu melirik ke arah saya dengan tatapan mata yang aneh. Untung ia cukup bijaksana untuk mau mengerti perbuatan saya yang pas ti sudah bisa ditebaknya. Bahkan sesudah Mbak Puji pergi, ia berkata kepada saya, "Pertolongan Tuhan itu akan datang bergantung pada bagaimana niat kita." Alhamdulillah, sejak saat itu memang betul Mbak Puji dan seluruh sanak familinya menjadi jamaah pengajian yang rajin dan taat. Berkat kebohongan yang menyembuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar