Ada seorang mahasiswa dilanda frustrasi hebat sepeninggal ibunya, saudara perempuannyapun (kawin lari dengan seorang pria). Isteri yang dikasihinya pun telah berpaling darinya.
Putus asa yang mendera membuat mahasiswa ini aktif mengurung diri kamar di kostannya, berbungkus-bungkus rokok ia isap dengan asap mengepul memenuhi ruang kamarnya, bungkus kopi pun tak kalah banyaknya. Ia tak peduli lagi dengan dirinya, kesehatannya, kuliahnya, hidupnya dan masa depannya.
Akhirnya, ia memutuskan pulang kampung dan telah bertekad kuliahnya berhenti sampai di sini. Apatah lagi biaya sudah tersendat sebab school fee sudah tersedot pada pengobatan ayahnya yang telah bertahun-tahun terserang kanker di kerongkongannya.
* * *
Senior saya yang menjadi Penasehat Akademik mahasiswa itu, menyambangi kampung dan rumah mahasiswa yang sedang frustrasi tersebut. Sebetulnya beliau bisa saja menelpon dan tak perlu repot-repot naik mobil umum ke Pinrang (sebuah kabupaten yang berjarak 200 km dari Makassar). Namun, beliau ingin bertemu muka dengan mahasiswanya dan keinginan itu terwujud dan sampailah ia di kampung mahasiswa yang sedang terluka itu.
Beliaupun merayu mahasiswa itu dan sukses membawa kembali ke Makassar. Di perjalanan menuju Makassar, beliau banyak berhikmah tentang problematika hidup dan kehidupan yang bernama manusia.
“Hidup ini lebih banyak yang terjadi dari bukan harapan kita”
“Nasib baik, nasib buruk adalah rejeki jika kita mau saja mempelajarinya”
“Saya tak berharap kamu selesai secepatnya”
“Engkau lelaki tak pantas mendzalimi diri dengan cara seperti itu”
“Nasib baik, nasib buruk adalah rejeki jika kita mau saja mempelajarinya”
“Saya tak berharap kamu selesai secepatnya”
“Engkau lelaki tak pantas mendzalimi diri dengan cara seperti itu”
Belajarlah pada matahari
Yang kadang cerah
Mendung
Berawan
Namun ia tak pernah berhenti memancarkan sinarnya
Finally, mahasiswa yang naas ini mulai bangkit dan aktif pelan-pelan mengikuti kegiatan akademik. Singkat kisah, ia berhasil menyandang gelar sarjana. Saat wisuda, ia memeluk penasehat akademiknya sambil terseduh. Sarjana baru ini meneteskan air mata dan terbata-bata berucap:
“Bukan nasehat tentang matahari itu yang membuatku kembali ke sini Pak. Tetapi saya belum pernah temukan seorang dosen penasehat akademik menemui mahasiswanya dengan perjalanan sejauh itu. Itulah yang membuatku kembali hidup”.
Sang dosen penasehat akademik itu, menepuk-nepuk punggung sang sarjana baru dan berlafaz:“Kamu telah mengenal arti toga ini. Selamat atas sarjanamu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar