Kamis, 12 Januari 2012

Nabi Isa dan Temannya

Pada suatu hari Nabi Isa 'Alahis-salaam berjalan dengan seorang teman yang baru dikenalnya. Keduanya menelusuri tepi sungai sambil memakan tiga potong roti. Nabi Isa A.s. satu potong dan satu potong untuk orang itu, sisa satu potong. Kemudian ketika Nabi Isa A.s. pergi minum ke sungai, dan kembali roti yang sepotong itu tidak ada, beliau bertanya kepada temannya, "Siapakah yang telah mengambil sepotong roti?"

Jawab teman baru itu, "Aku tidak tahu."

Keduanya meneruskan perjalanan. Tiba-tiba melihat rusa dengan kedua anaknya, maka dipanggillah salah satu dari anak rusa itu lalu disembelihnya dan dibakar. Kemudian dimakan berdua, lalu Nabi Isa As menyuruh anak rusa yang telah dimakan itu supaya hidup kembali maka hiduplah ia dengan izin Allah, kemudian Nabi Isa As bertanya, "Demi Allah, yang memperlihatkan kepadamu bukti kekuasaan-Nya itu siapakah yang mengambil sepotong roti itu?"

Jawabnya, "Aku tidak tahu."

Kemudian keduanya meneruskan perjalanan hingga sampai ke tepi sungai, lalu Nabi Isa As memegang tangan temannya itu dan mengajaknya berjalan hingga sampai ke seberang. "Demi Allah, yang memperlihatkan kepadamu bukti ini, siapakah yang mengambil sepotong roti itu?"

Jawabannya, tetap tidak tahu.

Ketika berada di hutan dan keduanya sedang duduk-duduk, Nabi Isa As mengambil tanah dan kerikil, lalu diperintahkan, "Jadilah emas dengan izin Allah." Tiba-tiba kerikil itu berubah menjadi emas, lalu dibagi menjadi tiga bagian. "Untukku sepertiga, dan kamu sepertiga, sedang sepertiga ini untuk orang yang mengambil roti." Serentak teman itu menjawab, "Akulah yang mengambil roti itu."

Lantas Nabi Isa A.s. berkata, "Ambillah semua bagian ini untukmu." Keduanya pun berpisah. Tak lama kemudian orang itu didatangi dua orang perampok yang akan membunuhnya. Teman Nabi Isa A.s. itu menawarkan, "Lebih baik kita bagi tiga saja." Tiga orang itu setuju. Lalu menyuruh salah seorang pergi ke pasar berbelanja makanan, maka timbul perasaan orang yang berbelanja itu, "Untuk apa kita membagi emas itu, lebih baik makanan ini saya isi racun biar keduanya mati, dan emas ini selamat."

Makanan itu pun dibubuhinya racun. Sementara orang yang tinggal berkata, "Untuk apa kita membagi emas ini, jika ia datang lebih baik kita bunuh saja, dan emas itu kita bagi dua." Ketika orang yang berbelanja itu datang, dibunuhlah oleh keduanya. Lalu hartanya dibagi menjadi dua, kemudian keduanya makan dari makanan yang telah diberi racun itu, maka matilah keduanya, dan tinggallah harta itu di hutan, sedang mereka mati di sekitar harta itu.

Ketika Nabi Isa A.s. berjalan di hutan dan menemukan emas itu, ia berkata kepada sahabat-sahabatnya, "Inilah contoh dunia, maka berhati-hatilah kamu kepadanya."

Demikianlah kisah yang dicatat dalam buku 1001 kisah orang-orang teladan yang berbicara tentang ketamakan manusia. Selama yang dituruti itu adalah keinginan hawa nafsunya, seketika itu pula ketamakan tidak mengenal batas akhir.

Orang yang lumpuh akan berkata, "Alangkah enaknya berjalan." Orang yang berjalan justru membayangkan kenikmatan orang yang bersepeda, orang yang bersepeda pun masih menganggap lebih baik orang yang naik motor. Yang naik motor pun belum puas sehingga ingin meniru memiliki mobil, begitulah selera dan tabiat nafsu itu terus dahaga. Maka dari itu sebuah hadits mengingatkan, "Perhatikanlah orang yang lebih rendah kedudukan (sosialnya) darimu, dan janganlah sekali-kali engkau melihat orang yang lebih tinggi (kaya) darimu. Demikianlah sikap yang layak agar kalian tidak melupakan nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian." (HR. muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah R.a.)

Inilah syukur nikmat. Orang yang memiliki mobil akan bersyukur ketika melihat orang lain yang masih naik motor atau sepeda. Orang yang berjalan pun akan merasa cukup dan berterima kasih manakala melihat orang lain justru terkapar di rumah sakit, demikian seterusnya.

Namun tabiat manusia memang lain. Mereka hanya mau terus-menerus ‘menggugat’ Tuhan terutama ketika ditimpa berbagai kesulitan. Terlebih merasa iri, hasud, dan dengki manakala melihat kehidupan orang lain yang lebih makmur. Rasanya, ingin sekali jika ‘kesenangan’ dan ‘kebahagiaan’ orang lain itu diraihnya dengan berbagai cara sekalipun harus merebutnya secara paksa. Ingatlah, bahwa sikap hasud itu akan menyia-nyiakan amal kebaikan.

Sabda Nabi Saw, “Jauhilah sikap iri dengki kepada orang lain (hasad)! Sesungguhnya iri dengki itu akan memakan amal kebaikan layaknya api melahap kayu bakar,” (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah)

Sebaliknya, ia bersikap kikir dan pelit ketika suatu saat dianugerahi kenikmatan. Pendeknya, ketika sedih, ia merasa orang paling sedih sendiri dan mengharapkan perasaan iba dari orang lain. Sementara ketika senang, ia merasa bahwa orang lain pun tengah menikmati kesenangan yang sama. Sebagaimana gambaran al-Qur'an,

"Sesungguhnya manusia itu
diciptakan dalam keadaan
keluh kesah lagi kikir.
Jika ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah,
dan jika mendapat kebaikan
ia amat kikir." (Al-Ma'arij: 19-21)

Tak luput, realita kehidupan pun seringnya dibalik. Yang sekunder menjadi primer, dan keinginan justru lebih didahulukan ketimbang kebutuhan, lebih senang mengkonsumsi daripada memproduksi. Semangat inilah yang mengantarkan jiwa-jiwa konsumtif dan permisif, bukan jiwa dan mental produktif.

Karena semua landasannya material, tak heran jika nilai moral pun menjadi serba terbalik. Setiap sikap jujur dan amanah kita caci dan kita anggap kegilaan.

Sebaliknya, kebohongan dan keculasan disanjung dan kita anggap ‘biasa’. Tak heran, jika selanjutnya kita akhirnya kerap keliru dan terjebak dalam membela nilai: kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan

Demikianlah daftar sikap yang kini mulai digandrungi sekaligus tengah dipentaskan para pejabat kita di tengah-tengah kemelaratan kebanyakan rakyatnya. Ini merupakan tanda-tanda nyata dari kehidupan masyarakat yang sakit.

Sesuai pesan Nabi Isa, berhati-hatilah dengan godaan gemerlap dunia. Ibarat fatamorgana, ia bukan menawarkan keindahan dan kebahagiaan yang hakiki. Yang ada tak lain kesemuan dan tak jarang justru mencelakakan dan membawa wabah bagi pemiliknya. Pantaslah Allah Subhaanahu wa ta'ala memperingatkan, "Bermegah-megah telah melalaikan kamu, sampai (akhirnya) kamu masuk ke liang kubur." (At-Takaatsur: 1-2). Wal-Lâhu A'lam. ***

* disalin dari rubrik Hikmah pada majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2003
** penulis adalah usuf Burhanudin mahasiswa Jurusan Hukum dan Yurisprudensi Islam pada Universitas Al-Azhar, Kairo

Tidak ada komentar: