Sabtu, 07 Januari 2012

Lebih Dekat dengan Maria Anastasia

Maria Anastasia Dwi Eni Widiyastuti, demikian nama lengkap tamu kita kali ini. Lahir 25 Desember 1962, di Yogyakarta. Beliau terlahir dari keluarga penganut Katolik yang taat. Sehingga sejak kecil hingga dewasa, beliau bersekolah di sekolah Katolik. Ketaatan keluarga pada agamanya, membuat keislamannya tak disukai, yang beliau ikrarkan seorang diri di tengah malam tepat tanggal 13 September 1985, pukul 00.00. Meski tanpa saksi, Beliau yakin syahadat (kesaksian) nya diakui Allah. Karena beliau yakin Allah Mahatahu. 
Nasihat Kematian 
Keinginannya menjadi Muslim, bermula dari rasa takut akan kematian. Dan perasaan takut itu seringkali timbul dan mengganggu hidupnya, sehingga beliau sering bertanya-tanya dalam hati, "Apa yang akan terjadi jika saya mati kelak?" "Apakah ada kehidupan dalam kubur?" "Lalu, kalau ada kehidupan di alam kubur kelak, di manakah saya akan bermuara?" 
Sungguh, pertanyaan-pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Seringkali beliau bertanya pada guru atau orang-orang yang faham tentang itu. Tetapi selalu saja jawaban-jawaban mereka tak pernah membuat beliau puas. 
Di tengah kebimbangan hati , Beliau mencoba mempelajari semua agama dengan cermat dan teliti. Termasuk Islam yang menjadi agamanya saat ini. Dan, alhamdullilah, kepuasan atas jawaban tersebut beliau temukan dalam Islam. 
Hijrah menjadi seorang Muslim bukanlah yang mudah waktu itu. Karena selalu saja beliau diliputi keraguan. Apalagi beliau yakin, kalau orang tua tak kan pernah menyetujui kehijrahannya menjadi Muslim. Walaupun pada akhirnya, beiau memilih Islam juga. 
Sembunyi-sembunyi Saat Shalat 
Identitas keislamannya tidak diberitahukan pada siapapun. Termasuk pada keluarga. Karena perasaan takut masih menghantui beliau. Bukan saja rasa takut melukai perasaan mereka, tapi rasa takut kalau mereka memusuhinya juga kelak. Sehingga, dalam melakukan aktifitas keislaman seperti shalat, masih Beliau lakukan di dalam kamar terkunci dengan rukuh dan mukena pinjaman dari tetangga. Oya, Beliau belajar shalat dari buku petunjuk shalat dan buku-buku Islam lainnya yang dibeli dari toko buku. 
Setelah sekian lama Beliau menyembunyikan keislaman ini, tiba-tiba suatu hari adiknya menemukan Beliau sedang shalat dzuhur di kamar. Ya, itu terjadi karena lupa mengunci pintu kamar saat sedang shalat. Semula, Beliau mengancamnya agar tak memberitahukan tentang keislaman ini pada keluarga. Tapi, meskipun begitu, dia tetap melaporkannya kepada keluarga. Dan dugaan Beliau benar. Keluarga sangat marah dan kecewa atas keislamannya. 
” Saya akui, saya memang sangat mencintai keluarga. Terutama pada ibu, bapak dan kakak serta adik saya. Tapi, saya lebih mencintai Islam. Ketika mereka menyuruh agar saya keluar dari Islam, saya lebih memilih dimusuhi dan dijauhi mereka. Ya, walaupun saya tinggal satu atap bersama mereka, mereka tidak memberi saya makan, dan membiarkan saya untuk makan dan memenuhi kebutuhan saya sendiri. Tapi, alhamdulillah, akhirnya saya pun bisa memenuhi itu dari hasil beasiswa sekolah saya. Walaupun begitu, saya ikhlas menerima hal itu dengan lapang”, ungkap Beliau 
Belajar dari Sapi
Seperti biasanya, menjelang Hari Raya Idul Adha banyak kambing dan sapi yang akan dijadikan qurban. “ Saya tidak tahu kenapa sapi yang baru saja diturunkan dari truk lepas dan masuk ke rumah saya. Mungkinkah sapi itu sengaja dikirim oleh Allah sebagai pelajaran buat saya? Sapi tersebut masuk dan berdiam sejak Isya, dan baru keluar (meninggalkan rumah) pada jam 00.01. Dari peristiwa tersebut, saya bisa menangkap sebuah nasihat, "Kenapa saya tidak mau berkorban sebagaimana qurbannya kaum Muslimin dengan sapi itu?" Berqurban bagi saya bukan berqurban dengan harta benda yang tidak saya miliki. Tetapi pengorbanan diri saya, agar mampu menanggung semua resiko untuk mengumumkan keislaman saya kepada orang-orang. Sehingga saya tak perlu takut lagi akan teror dan ancaman yang kelak akan menimpa saya ”, begitu pikirnya. 
Esok paginya, saat hari raya Idul Adha tiba, dengan rasa was-was Beliau langkahkan kaki menuju lapangan untuk mengikuti shalat Idul Adha. Seperti dugaannya, semua orang terkejut dengan kehadiran Beliau. “Tatapan curiga yang tertuju ke wajah saya berasal dari berbagai arah. Dan saya maklumi itu”. "Sekarang mbak Maria sudah masuk Islam. Nggak usah curiga, sebenarnya mbak Maria ini sudah lama masuk Islam," Tiba-tiba ujar seorang ibu sambil merangkul Beliau. Beliau senang dengan perkataan ibu tadi, orang-orang yang ikut shalat Idul Adha mengangguk-angguk mendengar perkataan sang ibu. 
Dikirimi Allah Seorang Laki-laki 
Suatu hari, Beliau dikenalkan seseorang pada laki-laki bernama Edy Supranjono, yang juga seorang muallaf sama seperti dirinya. Pun dengan masalah yang ia hadapi saat ini, yaitu masalah keislaman yang banyak ditentang oleh pihak keluarga. Dan berkat kasih sayang Allah, akhirnya mereka dapat disatukan dalam satu ikatan pernikahan. 
” Alhamdulillah, setelah saya berkeluarga bersama mas Edy, perasaan saya lega. Beban yang semula terasa berat di pundak saya, kini kami bisa saling berbagi. Ya, walaupun materi yang kami punya saat itu bisa dibilang sangat sedikit. Karena studio foto yang menjadi sumber mencari nafkah dan motornya diminta orangtua mas Edy, yang juga mertua saya ”, Ungkapnya. 
Walaupun hanya mengandalkan gaji hasil mengajar, mereka masih bisa hidup bahagia. Apalagi, kebahagian itu terasa sempurna saat hadir sang buah hati anugerah Ilahi. 
” Terimakasih ya Allah, kebahagiaan itu ternyata kau berikan pula pada kami. Walaupun kebahagiaan itu harus kami raih dengan darah dan keringat kami. Ya Allah, hanya kepada-Mulah kami berserah diri. Tunjukkanlah jalan yang lurus buat kami, yaitu jalan keselamatan, dan tajamkan mata hati kami untuk melihat kebenaran dan kesalahan, hingga terang jalan kami untuk mengikuti-Mu “.