Sabtu, 07 Januari 2012

Sayyidina Amr bin Ash Ra

Amr bin Ash bukanlah termasuk golongan sahabat yang terdahulu memeluk Islam (assabiqunal awwalun). Ia memeluk Islam bersama Khalid Bin Walid tidak lama setelah dibebaskanya kota Mekkah oleh kaum muslimin (futuh mekah). Menurut para muarikh (ahli sejarah Islam), keislaman Amr bin Ash disebabkan adanya interaksi dengan Raja Habasyah (Ethiopia). Waktu itu Amr sering memberikan hadiah kepada Raja Habasyah dalam setiap kunjungannya. Dalam suatu kunjungan, tersiar kabar tentang adanya Rasul akhir zaman yang bernama Muhammad di Mekkah. Raja Habasyah pun menyarankan kepada Amr bin Ash untuk beriman kepada Rasulullah. Katanya, “Sungguh! Demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya.” 

Setelah mendengarkan anjuran dari Raja Habasyah, Amr segera memacu kudanya menuju kampung halamannya. Lalu ia mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk berbai’at kepada Rasulullah SAW. Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid Bin Walid dan Utsman Bin Thalhah. Khalid dan Utsman sengaja datang dari Mekah untuk berba’iat kepada Rasulullah. 

Ketika tiba giliran Amr untuk berbaiat, berkatalah Amr kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah! Aku akan berba’iat kepada anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu.” Jawab Rasulullah, “Hai, Amr! Berba’iatlah, karena Islam akan menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.” Setelah memeluk Islam, Amr mengabdikan keberanian dan kecerdikannya dalam berjuang membela agama barunya. 

Amr bin Ash adalah seorang sahabat yang berpikiran tajam, cepat tanggap dan berpandangan jauh ke depan. Pada beberapa peristiwa dan suasana, keberaniannya itu disisipi dengan kelihaiannya, hingga disangka orang ia sebagai pengecut atau penggugup. Padahal itu tiada lain dari tipu muslihat yang istimewa yang oleh Amr digunakannya secara tepat dan dengan kecerdikan mengagumkan untuk membebaskan dirinya dari bahaya yang mengancam. Khalifah Umar Bin Khattab mengenal bakat dan kelebihannya ini dengan baik. Saat ia menugaskannya ke Syria sebelum pergi ke Mesir, ada yang mengatakan bahwa tentara Romawi dipimpin oleh Arthabon, maksudnya panglima yang lihai dan gagah berani. Maka Umar pun mengisaratkan pengiriman Amr bin Ash sebagai jawabannnya. Dan, akhirnya sejarah mencatat ahli tipu muslihat Arab (Amr) itulah yang memenangkan pertempuran melawan Arthabon Romawi. 

Para muarikh menggelari Amr bin Ash sebagai “pembebas Mesir”. Amr memiliki andil yang cukup besar dalam membebaskan Mesir dari cengkeraman dua imperium besar di masa itu, Persia dan Romawi. Ketika Mesir berada di bawah dua kerajaan besar itu, rakyatnya hidup sangat menderita, sebagian besar dijadikan budak. Mereka telah mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang. Mesir sendiri—ketika pasukan perintis Islam datang—merupakan jajahan dari Romawi. Sementara itu perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil. Ketika dari perbatasan kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan Islam, mereka pun berduyun-duyun memeluk Islam. Amr bin Ash sangat berharap akan dapat menghindarkan penduduk Mesir dari peperangan, agar pertempuran terjadi terbatas antara pasukannya dengan tentara Romawi saja. Oleh sebab itulah ia berbicara kepada para pemuka agama Nasrani dan Uskup-uskupnya: “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu. Dan sesungguhnya ia telah menunaikan risalahnya kemudian berpulang seteah meninggalkan kami di jalan yang lurus terang benderang. Di antara perintah-perintah yang disampaikannya kepada kami adalah memberikan kemudahan bagi manusia, maka kami menyeru kalian kepada Islam. Baragsiapa yang memenuhi seruan kami maka ia termasuk golongan kami, memperoleh hak seperti hak-hak kami, dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami. Dan barangsiapa yang tidak memenuhi seruan kami, maka kami tawarkan kepadanya membayar pajak, dan kami berikan kepadanya keamanan serta perlindungan. Dan sesungguhnya Nabi kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tangung jawab kami untuk membebaskannya dari penjajah, diwasiatkannya kepada kami agar berlaku baik kepada penduduknya. Maka jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat!” 

Amr menyudahi ucapannya, dan sebagian uskup dan pendeta menyerukan, “Sesungguhnya hubungan silaturahmi yang diwasiatkan Nabimu itu adalah suatu pendekatan dengan pandangan jauh, yang tak mungkin disuruh hubungkan kecuali oleh Nabi.” 

Dialog antara Amr dengan tokoh agama Nasrani di atas merupakan strategi permulaan yang baik dalam merebut hati rakyat Mesir yang berbeda keyakinan. Walaupun panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya, namun usaha mereka itu sia-sia. Karena sudah terjadi saling pengertian antara pasukan kaum muslimin dengan rakyat Mesir. 

Pada tahun ke-43 Hiriyah, wafatlah Amr bin Ash di Mesir. Waktu itu ia masih menjabat sebagai gubernurnya. Di pangkuan bumi Mesir, negeri yang diperkenalkannya dengan ajaran Islam itu, bersemayamlah tubuhnya. Dan, di atas tanah yang keras, majelisnya yang selama ini digunakannya untuk mengajar, mengadili, dan mengendalikan pemerintahan, masih tegak berdiri melalui kurun waktu, dinaungi oleh atap masjidnya yang telah berusia lanjut, “Jami’u Amr”. [dpu-online.com]