Senin, 30 Januari 2012

Si Tuan Guru dan Si Sufi

Syekh Abu Dairy adalah seorang ulama' terkenal, beliau menguasai puluhan kitab bahkan ratusan kitab, santrinya banyak mencapai ribuan, dan beliau dikenal sbg Tuan Guru, suatu saat Syekh Abu Dairy mengalami kegundahan hati, akhirnya beliau sholat malam utk minta petunjuk pd Allah bagaimana utk mengatasi kegundahan hati ini, maka Allah memberi isyaroh lewat mimpi, Syekh Abu Dairy bertemu dg malaikat dan malaikat itu memberi petunjuk "Carilah Adi Sufi, kegundahanmu akan hilang saat engkau bertemu dengannya". Keesokan harinya saat Syekh Abu Dairy bangun, maka dia menyuruh salah seorang santrinya untuk mencari Adi Sufi. Dan santrinya setelah mencari beberapa hari akhirnya dpt informasi tentang Adi Sufi, dia tinggal di rumah yg amat sederhana, dinding2nya dari bambu dan lantainya tanah.

Santri tadi langsung bilang, ada seorang yg namanya Adi Sufi tapi dia itu orang miskin yg kelihatannya bodoh, kenapa Syekh Abu Dairy ingin menemui dia? sang Syekh Abu menjawab "sudahlah, skrg antarkan aku ke rumah Adi Sufi tsb". Setelah menempuh perjalanan maka sampailah Syekh Abu Dairy dan seorang santrinya ke rumah Adi Sufi yg sederhana tsb.
Syekh Abu Dairy: "Assalaamu'aikum Yaa Adi Sufi, maka Adi Sufi membukakan pintu dan menjawab "Wa'alaikumussalam, silahkan masuk kalian berdua, setelah ketiganya berada di dalam rumah, Adi Sufi menanyakan maksud kedatangan tamunya ini dan bertanya "siapa anda2 ini koq tiba2 datang ke rumahku yg sederhana ini?" Syekh Abu Dairy menjawab "Saya Syekh Abu Dairy dan ini salah satu santri saya, saya datang kemari ingin minta saran kepada anda?" Adi Sufi menjawab: Ooo...anda ulama' terkenal itu ya, apakah anda merasa mampu jadi seorang guru? maka Syekh Abu Dairy menjawab: Ya, saya mampu, maka Adi Sufi berkata: Kalau sudah merasa mampu buat apa kemari, pulang saja sana...gak ada gunanya kau kemari?, santri Syekh Abu Dairy tdk terima gurunya dihina, santri tsb bilang pd gurunya "Syekh lebih baik kita pulang, benar kan perkiraan saya dia hanyalah orang miskin yg bodoh" Syekh Abu Dairy langsung menatap tajam ke santrinya tsb dan berkata "Diam, kau ini tidak mengerti apa-apa!...akhirnya sang santri diam, dan Syekh Abu Dairy berkata pada Adi Sufi "Tolong saya, saya belum mampu menjadi guru, saya tidak mengerti apa-apa" Dengan pengakuan yg tulus ini akhirnya Adi Sufi tidak jadi mengusir Syekh Abu Dairy dan berkata: "Baguslah kau sadar...

sekarang saya akan ajukan pertanyaan2 yg mudah, bila bisa menjawab kau layak jadi guru, bila belum dpt menjawab maka kau masih perlu belajar lagi"

Adi Sufi: pertanyaan pertama, tahukah engkau cara makan yg benar?
Syekh Abu Dairy: tahu, pertama baca bismillah, kemudian makan dg tangan kanan dan berhenti sebelum kenyang
Adi Sufi: salah...! dasar bodoh..! pertanyaan mudah saja tidak bisa kau jawab, aneh sekali kau bisa menjadi "Syekh/guru besar"

Santri yg tidak tahan gurunya dihina utk kedua kalinya berkomentar: Hai bodoh..! jangan menghina guruku beliau itu
Tuan Guru, kau tidak ada apa-apanya, guru ayo pulang saja, percuma bicara ma orang bodoh!

Syekh Abu Dairy langsung marah pd santrinya: Diam..! ini urusanku dg Adi Sufi bila kau tdk suka plg saja sendiri...! maka sang santri ketakutan dan terpaksa diam dg hati yg mendongkol, hehehe....kasihan ya teman teman si santri ini....

Syekh Abu Dairy: ya saya bodoh, tolong pertanyaan lain, insya Allah saya bisa menjawab
Adi Sufi: pertanyaan kedua, tahukah engkau cara tidur yg benar?
Syekh Abu Dairy: tahu, sebelum tidur saya berwudlu dulu, kemudian aku berbaring sebagaimana berbaringnya Rosulullah sewaktu tidur dan sebelum kupejamkan mata ku membaca do'a sebelum tidur dan surat al-Ikhlas 7 kali

Adi Sufi: salah lagi....sekarang coba kau jawab pertanyaan yg ketiga ini yg paling penting krn kau guru agama, bagaimana cara kau mengajarkan agama
Syekh Abu Dairy: Aku mengajar agama berdasarkan Qur'an dan Hadits, dan setiap hari ku ajar mereka dg materi baru dan berbeda agar para santriku tidak bosan menerima pelajaranku

Adi Sufi: salah.....! jawaban kamu salah semua.......

Syekh Abu Dairy: kalau begitu berilah petunjuk diriku yg bodoh ini

Adi Sufi: baiklah bila kamu telah mengakui kekuranganmu, sebenarnya jawabanmu semua tadi itu benar tapi benar bg org2 yg tingkatannya masih kesadaran mata, sdangkan kau guru harusnya kau lebih tinggi tingkatannya yaitu tingkatan kesadaran akal. ini aku beri penjelasan utk soal pertama sampai ke tiga

1. Cara makan yg benar, adalah lihat dulu makanannya halal atau haram, suci apa najis, kalau makan babi walau kau baca bismillah 1000x tetap akan membuatmu berdosa. Setelah jelas2 tahu bahwa makanan itu halal dan suci baru melakukan seperti apa yg kamu jawab tadi.

2. Cara tidur yg benar, yg kamu katakan tadi sebenarnya tidak seluruhnya salah, jawabanmu masih kurang tepat, bagi orang yg berakal tidak cukup hanya dzhohirnya saja yaitu berwudlu dan berdoa, tapi juga hatimu sewaktu belum tidur harus bersih dari dengki jg memaafkan semua kesalahan manusia dan bersih dari rasa cinta dunia, sehingga tidurmu adl tidur yg diridloi Allah, walau kau berwudlu dan berdoa tapi sebelum tidur di hatimu masih ada rasa dengki atau dendam atau rasa cinta dunia mngalahkan cinta pd Allah maka tidurmu adl tidur yg dimurka Allah SWT.

3. Cara mengajar yg benar, yg kamu jawab tadi itu bisa dilakukan semua orang, tidak hanya kamu, orang kafir pun yg mempelajari Qur'an dan Hadits dan dia pandai juga bisa mengajar seperti kamu, dan inti mengajar agama adl harus disertai rasa ikhlas dan hanya mengharap ridlo Allah, bukan pujian lebih2 bayaran.....faham kamu skrg Abu Dairy

Syekh Abu Dairy: terima kasih Adi Sufi, sekarang hilang kegundahan hatiku, atas ilmu yg kamu berikan padaku, dan kamu santriku, jangan terlalu mudah menyimpulkan orang hanya dari penampilan, keadaan atau kata katanya yg kelihatan kurang sopan, terkadang dia hanya menguji kamu, sampai di mana akhlak kamu, dan rupanya kamu harus belajar tasawuf sama Adi Sufi shg bisa berakhlak dg benar,dan skrg minta maaflah pd Adi Sufi

Santri Syekh Abu Dairy: Maafkan kelancangan saya tadi Syekh Adi Sufi, Maaf saya tadi salah paham, setelah mendengarkan penjelasan anda, ternyata anda orang 'alim

Adi Sufi: Ya saya maafkan dan tidak apa apa,sikap kamu membela guru kamu itu juga akhlak yg baik, tapi cara kamu tadi yg kurang baik, walau tujuan kamu benar, tapi kalau kamu pakai cara yg salah, sungguh demi Dzat Yang menguasai langit dan bumi, maka kebenaran tersebut sulit utk diterima.

Dari cerita ini lihat perbandingan jawaban Abu Dairy (kesadaran mata) dan jawaban adi sufi (kesadaran akal) dan dlm kisah tsb jg kumasukkan adab sbg seorang yg minta petunjuk tidak boleh "merasa mampu/merasa bisa" kerana bila ada rasa ini sulit utk menerima "ilmu" yg lebih tinggi tingkatannya.


kami akhiri semoga kita semua selalu dlm ridlo dan hidayah dari Allah..Aamiin Allaahumma Aamiin

Iyas Rahimahullah Alangkah Jernih Pemikirannya

Nama beliau adalah Iyas bin Muawiyah bin Qurrah Al Muzanni, lahir pada tahun 46 H di daerah Yamamah Najed. Kemudian beliau pindah ke Bashrah beserta seluruh keluarganya.
Telah nampak bakat dan kecerdasan beliau sejak masih kecil. Orang-orang sering membicarakan kehebatan dan beritanya kendati beliau masih kanak-kanak.
Diriwayatkan ketika beliau masih kecil beliau belajar ilmu hisab (hitung-menghitung) di sebuah sekolah yang diajar oleh seorang Yahudi ahli dzimmah. Pada suatu hari berkumpullah kawan-kawannya dari kalangan Yahudi itu, mereka asyik membicarankan masalah agama mereka tanpa menyadari bahwa Iyas turut mendengarkannya.
Guru yahudi itu berkata kepada teman-teman iyas (yang beragama Yahudi): “tidakkah kalian heran kepadakaum muslimin itu? Mereka berkata bahwa mereka akan makan disurga, namun tidak akan buang air besar!?”
Iyas menoleh kepadanya lalu berkata,
Iyas: “Bolehkah aku ikut campur dalam perkara yang kalian perbincangkan itu wahai guru?”
Guru: “Silakan!”
Iyas: “Apakah semua yang keluar di dunia ini menjadi kotoran?”
Guru: “Tidak!”
Iyas: “Lantas kemana hilangnya makanan yang tidak keluar menjadi kotoran tersebut?”
Guru: “Tersalurkan sebagai makanan bagi tubuh dan anggota badan.”
Iyas: “Lantas dengan alasan apa kalian mengingkari? Jika makanan yang kita makan di dunia saja sebagian hilang diserap oleh tubuh, maka tidak mustahil di surga seluruh makanan diserap oleh tubuh dan menjadi makanan jasmani.”
Maka guru itu terdiam dan kalah argumentasi....
-------------------
Di suatu tahun, orang-orang keluar untuk mencari hilal Ramadhan, dipimpin langsung oleh sahabat utama Anas bin Malik Al-Anshari. Ketika itu beliau telah berusia senja, hampir mencapai umur 100 tahun.
Orang-orang memperhatikan seluruh penjuru langit, namun tidak menjumpai hilal. Akan tetapi Anas terus mencari-cari lalu berkata: “Aku telah melihat hilal, itu dia!”sambila menunjuk dengan tangannya ke langit, padahal tidak ada seorangpun melihat hilal selain beliau.
Ketika itu, Iyas memperhatikan Anas, ternyata ada sehelai rambut panjang yang berada di alisnya hingga menjulur ke pelupuk matanya. Dengan santun Iyas meminta izin untuk merapikan rambutAnas yang menjulur itu, lalu bertanya: “Apakah Anda masih melihathilal itu sekarang, wahai sahabat Rasulullah?”
Anas berkata: “Tidak, aku tidak melihatnya... aku tidak melihatnya....”
------------------
Tersebarlah berita tentang kecerdasan Iyas, orang-orang berdatangan kepadanya dari berbagai penjuru untuk bertanya tentang ilmu dan agama. Sebagian ingin belajar, sebagian lagi ada yang ingin menguji dan ada pula yang hendak berdebat kusir.
Di antara mereka ada Duhqan (seperti jabatan lurah di kalangan Persi dahulu) yang datang ke majlisnya dan bertanya,
Dahqan: “Wahai Abu Wa’ilah (panggilan Iyas), bagaimana pendapatmu tentang minuman yang memabukkan?”
Iyas: “Haram!”
Duhqan: “Dari sisi mana dikatakan haram, sedangkan ia tidak lebih dari buah dan air yang diolah, sedangkan kedua-duanya sama-sama halal!?”
Iyas: “Apakah engkau sudah selesai bicara, wahai Duhqan, ataukah masih ada yang hendak kau utarakan?”
Duhqan: “Sudah, silakan bicara!”
Iyas: “Seandainya kuambil air dan kusiramkan ke mukamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan: “Tidak!”
Iyas: “Jika kuambil segenggam pasir dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqan: “Tidak!”
Iyas: “Jika aku mengambil segenggam semen dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?”
Duhqa: “Tidak!”
Iyas: “Sekarang, jika kuambil pasir, lalu kucampur dengan segenggam semen dan kutuangkan air di atasnya kemudian kuaduk, lalu kujemur hingga kering, kemudian aku pukulkan campuran yang sudah kering tersebut ke kepalamu, apakah engkau merasa sakit?”
Duhqan: “Benar, bahkan bisa membunuhku.”
Iyas: “Begitulah halnya dengan khamr (minuman yang memabukkan). Di saat kau kumpulkan bagian-bagiannya lalu kau olah menjadi minuman yang memabukkan, maka dia menjadi haram.”
--------------------
Bukti kecerdasan Iyas terlihat pula dalam kasus berikut:
Ada dua orang yang berselisih lalu mengadukan persoalannya kepada Iyas tentang dua kain beludru yang biasa diletakkan di atas kepala dan dijulurkan hingga ke bahu. Yang satu berwarna hijau, masih baru dan mahal harganya, sedangkan yang satunya lagi berwarna merah dan telah usang.
Si penuduh berkata: “Suatu ketika saya istirahat di sebuah sungai untuk mandi, lalu aku letakkan beludru milikku yang berwarna hijau bersama bajuku di pinggir telaga. Lalu datanglah orang ini dan meletakkan beludrunya yang berwarna merah di samping beludruku lalu terjun ke telaga. Dia selesai sebelum aku selesai... selanjutnya dia memakai bajunya namun mengambil beludru milikku lalu dipakaikan di kepalanya dan langsung beranjak pergi. Ketika aku selesai, ku ikuti dia dan aku meminta kembali beludruku, namun dia mengatakan bahwa beludru tersebut adalah miliknya.
Iyas berkata kepada lelaki yang dituduh: “Bagaimana komentar anda?” Dia menjawab: “Tidak demikian sebenarnya.” Kemudian Iyas berkata kepada penjaga: “Ambilkan aku sebuah sisir.” Lalu diambilkan sisir untuk beliau. Selanjutnya Iyas menyisir kedua rambut kepala orang tersebut, lalu keluarlah dari rambut salah seorang dari mereka bulu halus berwarna merah yang tercecer dari beludru merah, yang satunya lagi keluar bulu halus yang berwarna hijau... lalu beliau memutuskan beludru yang merah bagi yang tercecer di rambut kepalanya bulu halus yang berwarna merah dan beludru hijau bagi yang tercecer bulu halus yang berwarna hijau di rambut kepalanya.

10 Nasehat Untuk Pengantin Wanita

Alangkah indah nasihat seorang ibu untuk putrinya yang hendak dinikahkan dengan al-Harits bin ‘Amr al-Kindi. Dia pesankan,

“Wahai putriku, sesungguhnya jikalau wasiat tak lagi diberikan untuk seorang yang beradab dan bernasab mulia, tentu takkan kuberikan wasiat ini untukmu. Namun, wasiat adalah pengingat bagi orang yang berakal dan pemberi peringatan bagi orang yang lalai.

Wahai putriku, seandainya anak perempuan tak lagi membutuhkan suami karena ayah bundanya telah mencukupinya, sesungguhnya engkau orang yang paling tak butuh terhadap suami. Namun, kita ini diciptakan untuk kaum laki-laki, sebagaimana pula diciptakan kaum laki-laki untuk kita.

Wahai putriku, engkau hendak berpisah dengan tempat kelahiranmu, meninggalkan kehidupan yang dahulu engkau tumbuh di sana, menuju tempat yang tak kau kenal bersama teman yang asing bagimu. Dengan kepemilikannya atas dirimu, dia menjadi penguasa atasmu. Berlakulah layaknya hamba sahayanya, niscaya dia akan menjadi sahaya yang tunduk kepadamu. Jagalah sepuluh hal yang akan menjadi simpanan berharga bagimu:

1. Bergaullah dengannya dengan penuh qana’ah karena qana’ah akan melapangkan hati.


2. Dengar dan taatlah engkau dengan baik karena pada kedua hal ini ada keridhaan Rabbmu.

3. Berupayalah menjaga pandangan mata dan penciumannya, jangan sampai kedua matanya memandang sesuatu yang buruk darimu dan hidungnya mencium sesuatu darimu selain aroma yang semerbak wangi.

4. Kenakanlah selalu celak dan air karena celak adalah sebaik-baik perhiasan dan air adalah sebaik-baik wewangian.

5. Jagalah selalu waktu makannya, karena panasnya rasa lapar akan mudah membangkitkan kemarahan.

6. Ciptakan suasana tenang saat tidurnya karena tidur yang terganggu akan menimbulkan amarah.

7. Berusahalah selalu menjaga rumah dan hartanya karena mampu menjaga harta termasuk sebaik-sebaik kemampuan.

8. Jagalah selalu hubungan dengan keluarganya karena kemampuan menjaga hubungan dengan kerabat termasuk sebaik-baik pengaturan.

9. Jangan engkau sebarkan rahasianya karena jika engkau lakukan, niscaya engkau takkan aman dari pengkhianatannya.

10. Jangan pernah kau durhakai perintahnya, karena jika kau mendurhukai perintahnya, berarti engkau buat menggelegak dadanya.

Semakin kau agungkan dia, dia pun makin memuliakanmu. Semakin sering engkau seia-sekata dengannya, dia pun semakin baik kepadamu.

Ketahuilah, engkau takkan bisa melakukan semua ini sampai engkau utamakan keinginannya di atas keinginanmu, dan engkau utamakan keridhaannya di atas keridhaanmu, baik dalam hal-hal yang kau sukai maupun yang engkau benci.

Hati-hatilah, jangan sampai engkau bergembira di hadapannya manakala dia sedang gundah gulana, dan jangan bermuram durja di hadapannya tatkala dia sedang gembira.” (Takrimul Mar’ah fil Islam, hlm. 96-97)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Buah Anak Shalih dari Pohon Orang Tua Yang Shalih

Anda tentu mengenal nama Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit, salah seorang ulama besar, dan termasuk salah satu dari imam empat mazhab. Ada kisah menarik, berkaitan dengan ayahnda beliau, kisah ini bermula di saat beliau belum lahir.
Pada abad pertama hijiriah, terdapat seorang pemuda yang mengabdikan dirinya untuk menuntut ilmu syar’i, tetapi ia sangat miskin. Suatu hari ketika ia merasa sangat lapar dan tidak mendapatkan sesuatu apapun yang bisa dimakan. Ia berusaha mencari makanan di luar rumahnya. Kemudian, ia berhenti di pinggir Sungai ternyata ia menemukan sebuah apel. yang menggoda perutnya. Karena sangat lapar, ia terdorong untuk memakan apel tersebut, apalagi ia merasa perlu untuk mempertahankan raganya. Ia juga berpikir bahwa tidak ada seorangpun yang melihatnya, disamping ia juga merasa bahwa sang pemilik apel itu tidak akan kehilanga dengan sebab satu biji apel saja. Maka, ia beranikan diri untuk mengambil buah apel 
Ketika baru memakan satu gigitan, jiwanya mulai mencacinya. Beginilah contoh kondisi seorang mukmin yang tidak bisa tenang jika telah melakukan pelanggaran. Ia duduk termenung sambil berkata,
“Bagaimana aku bisa memakan buah apel itu padahal itu adalah harta seorang orang lain, dan aku belum meminta izin kepadanya? Bagaimana aku bisa dikabulkan doa sedangkan makananku makanan haram? Tidaklah diterima ibadahku selama 40 hari karena apel ini karena ia menyatu dalam darahku?
Akhirnya, pemuda tersebut pergi menyusuri kali itu dan tampak seorang yang lewat dan ia bertanya : Pak kiranya bapak bisa menunjukkan siapa pemilik kebun apel di sekitar sini? " "wahai kisanak kebun apel itu terletak di pinggir kota, kiranya masih agak jauh dari sini, silahkan ikuti jalan ini". sambil menunjukkan arak ke kota ia menjawab. lalu sang pemuda itu mencari pemilik kebun sampai ke kota kemudian ia melihat sebuah kebun yang dipenuhi oleh pohon apel dan didapatkkannya seorang yang lagi mengurusinya, pikirnya ia seorang pemilik kebun itu.
Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan separuh dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadam (pembantu)-nya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya".
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam".
 Ia lalu bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam  sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Pemuda itu pun  pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, sesampainya di rumah sang pemilik kebun ia lalu menemuinya di teras rumahnya dengan terus memohon kepada si pemilik kebun untuk menghalalakan apel itu, sedangkan pemilik kebun justru semakin bersikukuh, lalu pergi meninggalkannya. Namun, pemuda itu membuntutinya dan tetap memohon maaf kepadanya hingga ia masuk rumah. Pemuda itu menunggu di sisi pintu, memantinya keluar untuk shalat Ashar. Ketika si pemilik kebun keluar rumah untuk suatu urusan, pemuda itu ternyata masih tetap berdiri dan menantinya langsung ia memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?"
Lelaki tua yang ada dihadapan Pemuda itu mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ? sungguh aku siap untuk bekerja sebagai petani di kebun ini tanpa diberi upah sepanjang umurku atau apa saja yang kamu inginkan, tetapi dengan syarat Anda memaafkanku dan menghalalkan apel itu untukku.” Sambil menampakkan sisa apel yang sudah busuk itu. "Baik, kalau begitu kamu harus mencangkul tanah saya?"
Selang beberapa hari Tsabit kembali dan berkata: "sudah tuan, adakah syarat lagi, yang penting apel itu halal bagiku?"
"Baik, kalau begitu kamu harus menanam padi  dan mengurusinya sampai panen tiba?" "Baiklah Tuan, Demi Allah aku ingin tuan halalin apa yang ada dalam darah dagingku dari intisari apel itu". 
Tibalah Saatnya panen, sang pemuda itu kembali lagi dan bertanya "adakah syarat lagi tuan?
Pada saat itu, pemilik kebun berpikir sejenak, kemudian berkata,
“Anakku, aku siap untuk memaafkanmu sekarang, tetapi dengan satu syarat.”
Mendengar itu, si pemuda langsung gembira adn wajahnya berseri bahagia. Dia berkata,
”Berikanlah syarat sesukamu wahai pamanku.”
Si pemilik kebun berkata,
”Syaratku adalah supaya Kamu menikahi putriku.”
Pemuda itu terperanjat bukan kepalang mendengar jawaban itu. Dia sama sekali tidak pernah menyangka mendapat syarat ini. Namun, si pemilik kebun melanjutkan perkataannya,
” Akan tetapi, wahai anakku, ketahuilah bahwa putriku buta, tuli, bisu, dan juga lumpuh, tidak pernah berjalan sejak lama. Aku telah mencarikannya seorang suami yang dapat kupercaya untuk melindungi dan mendampinginya dengan segenap kriteria-kriteria yang disebutkannya. Apabila Kamu menyetujuinya, aku akan menghalalkan dan memaafkanmu.”
Pemuda itu kembali terperanjat bukan kepalang dan merasa mendapat musibah yang kedua kalinya. Dia mulai berpikir bagaimana ia akan hidup dengan ketidaksempurnaan seperti ini, terlebih dia masih berusia belia? Bagaimana istrinya nanti akan melaksanakan urusan-urusannya, menjaga rumah dan memerhatikannya, sedangkan ia memiliki kekurangan-kekurangan tersebut?
Dia mulai memperhitungkan dan berkata,
“Aku akan bersabar atasnya di dunia agar aku selamat dari petaka apel tersebut.”
Kemudian, ia berkata kepada pemilik kebun,
“Wahai paman, aku telah menerima putrimu. Aku memohon kepada Allah semoga Dia memberiku pahala atas niatku dan memberiku ganti yang lebih baik dari yang kuterima.”
Pemilik kebun berkata, “Baiklah anakku, waktumu hari Kamis depan di rumahku untuk pesta pernikahanmu. Aku yang menanggung maharmu.”
Hari kamis pun tiba. Pemuda datang dengan langkah berat, batin sedih, dan hati hancur, tidak seperti layaknya calon pengantin yang pergi menuju hari pernikahannya. Ketika ia mengetuk pintu, bapak sang wanita membukakannya dan membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah berbicang-bincang, ia berkata kepadanya,
“Anakku, silahkan masuk kepada istrimu. “Semoga Allah memberkahimu dalam kebahagiaan dan kesusahanmu, dan mengumpulkan kalian berdua di atas kebaikan.”
Lalu, ia memegang tangan si pemuda dan membawanya ke kamar putrinya. Ketika si pemuda membuka pintu dan melihat istrinya, ternyata ia justru mendapati seorang gadis putih yang sangat cantik, dengan rambut terurai seperti sutra di atas pundaknya. Istrinya itu langsung bangkit, ternyata ia berperawakan tegak. Kemudian, ia berjalan ke arah suaminya dan memberinya salam, “Assalamu’alaikum suamiku…”
Si pemuda tetap berdiri di tempatnya sambil memerhatikan gadis yang baru ditemuinya itu. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Namun, gadis itu memahami apa yang berputar di benak suaminya. Ia menghampirinya, menjabat tangannya, dan mencium tangannya, lalu berkata,
“Sesungguhnya aku adalah buta dari melihat yang haram…”
… bisu dan tuli dari mendengar hal yang haram …
… dan kedua kakiku tidak pernah melangkah kepada hal yang haram …
… Aku adalah anak semata wayang bapakku. Sejak beberapa tahun lalu, bapakku mencarikanku suami yang shalih. Maka, ketika Kamu datang meminta izin kepadanya karena satu buah apel dan kamu menangis karenanya, bapakku mengatakan bahwa barangsiapa takut memakan satu buah apel yang tidak hala baginya, pasti dia akan lebih takut kepada Allah dalam menjaga putriku, katanya …
Alangkah bahagianya aku yang telah mendapatkanmu sebagai suami, dan alangkah bahagianya ayahku dengan nasabmu”
…………….
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا () وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka”
(Ath-Thalaq: 2-3)
Kemudian, setelah setahun berlalu, sang istri dikaruniani seorang anak hasil hasil benih yang ditanam pemuda yang termasuk orang-orang langka umat ini. Tahukah Anda siapakah anak kecil itu? Anak kecil itu adalah Abu Hanifah An-Numan bin Tsabit, ahli fiqh mazhab Islam yang mahsyur. Ulama besar yang keilmuannya terpandang di kalangan para bangsawan. Dialah ulama yang karena kewara’annya, dicambuk oleh Ibnu Hubairah (pegawai pemerintah di bawah Khalifah Bani Umayyah) sebanyak 110 cambukan karena menolak diangkat sebagai pegawai negeri dengan jabatan prestisius, Hakim. Dialah ulama yang dipenjara khalifah pertama Bani Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur, karena menolak iming-iming untuk dijadikan hakim pula.
* Dan kita bisa mengambil pelajaran bahwa benarlah  apa yang dikatakan Syaikh Musthafa Al-’Adawi -hafizhohullah- (dalam Fiqh Tarbiyautl Abna’) bahwa,
Kebaikan dan amal shalih kedua orang tua, memiliki pengaruh yang besar terhadapa perkembangan seorang anak, dan bermanfaat bagi mereka, baik di dunia maupun di akhirat.
Demikian pula amal buruk dan dosa-dosa besar yang dilakukan oleh kedua orang tua, memiliki dampak negatif terhadap pendidikan anak.

Gelas Boleh Beda Isinya Sama Saja

Ibnu Abbas bukan cuma seorang yang 'alim dalam berbagai ilmu, tetapi juga tampan.. Namun, dia hanya ingin beristri seorang wanita shalihah. 

Pada suatu hari, istrinya diajak bersilaturahmi ke semua kerabat, handai taulan, serta para sahabatnya. Tetapi, orang-orang, terutama kaum lelaki, selalu lebih melirik pada sang istri ketimbang Ibnu Abbas. Ibnu Abbas merasakan lirikan itu penuh nafsu dan gairah karena istrinya begitu cantik luar dalam, auranya memancarkan bahwa ia seorang wanita yang begitu diidam-idamkan kaum lelaki. Hal ini membuat pikiran jadi galau dan risau. 

Akhirnya, Ibnu Abbas mengundang para rekan dan kerabatnya berkunjung ke rumahnya. Dia hanya menyediakan minum teh bersama makanan ringan seadanya tetapi sungguh beliau menyediakan para tamunya dengan beraneka macam gelas, mulai dari gelas plastik, melamin, kaca, marjan, dan berbagai ukuran mulai gelas yang pendek, sedang, panjang, lebar, dan sempit. 

Lalu Ibnu Abbas mempersilakan para tamunya mencicipi hidangan teh itu.
“Wah, teh ini lezat,” bisik seorang tamunya.
“Tetapi, yang  ini juga sama nikmatnya,” bisik tamu lainnya. Tamu yang telah menikmati teh itu tidak percaya, lalu mencoba gelas yang disarankan rekan-rekannya.
“Nah, rasanya sama ‘kan dengan teh yang tadi?” tanya seorang rekannya. Perbincangan para tamu berkutat pada teh yang mereka anggap nikmat buat diminum, namun satu rasa, manis semua.
Akhirnya, Ibnu Abbas berbicara, “Saudara-saudaraku semua, saya sengaja memberi hidangan teh ini dengan dengan beraneka ragam gelas, namun rasanya sama, manis semua. Begitu juga dengan istri-istri saudara. Meraka yang berkulit putih, coklat, kuning, dan hitam,walaupun berbeda warna, rasanya bisa saya pastikan sama semua.”

Minggu, 29 Januari 2012

الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم

الصلاة على النبي محمد بن عبد الله صلى الله عليه وسلم رسول الإسلام إحدى العبادات المفروضة على المسلمين وفقا للآية القرآنية: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾«‌33‏:56» وهي عبارة عن تكريم وتشريف لنبي الإسلام محمد كنبي آخر الزمان المبعوث للناس كافة لتبليغه الرسالة وتأديته الأمانة. تكون صلاة المسلم على النبي بتلاوته للصلاة التي لها عدة صيغ منها صلى الله عليه وسلم خاصة عند المسلمين السنة الذين يستخدمون كذلك صيغة "صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم"، و"صلى الله عليه وعلى آله وسلم"، وفي صلاتهم يتلون الصلاة الإبراهيمية في التشهد الأخير. في حين أن الصيغة الأكثر شيوعا عند المسلمين الشيعة هي "صلى الله عليه وآله وسلم" و"صلى الله عليه وآله".
معنى الصلاة
اسم النبي محمد ملحوقة بالصلاة والسلام عليه، مكتوبة بالخط الثلث.
يختلف معنى كلمة "الصلاة" عند المسلمين باختلاف أماكن استخدامها، وكلها في النهاية راجعة في أصل اللغة لـ "الدعاء" كما ورد في المعجم الوسيط[1]، ومن هذه الاستخدامات:
  • الصلاة من الله على البشر: تكون رحمة مقرونة بالتعظيم، ورفع درجاتهم، وذكرهم بالثناء في الملأ الأعلى كما في الأية ﴿هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا﴾«‌33‏:43».
  • الصلاة من الملائكة على المؤمنين: تكون استغفار ودعاء لهم عند الله.
  • الصلاة من المؤمنين على المؤمنين: دعاء أيضا كما في الأية ﴿خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴾«‌9‏:103».
  • الصلاة من البشر إلى الله: العبادة المخصوصة المبينة حدود أوقاتها في الشريعة الإسلامية كما في الأية ﴿فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ﴾«‌108‏:2».
والله أمر المؤمنين بالمكافأة لمن أحسن إلينا وأنعم علينا، فإن عجزنا عنها كافأناه بالدعاء، فأرشدنا الله لما علم عجزنا عن مكافأة نبينا إلى الصلاة عليه ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾«‌33‏:56»
  • قال العز بن عبد السلام: «ليست صلاتنا على النبي صلى الله عليه وسلم شفاعة منا له، فإن مثلنا لا يشفع لمثله، ولكن الله أمرنا بالمكافأة لمن أحسن إلينا وأنعم علينا، فإن عجزنا عنها كافأناه بالدعاء، فأرشدنا الله لما علم عجزنا عن مكافأة نبينا إلى الصلاة عليه؛ لتكون صلاتنا عليه مكافأة بإحسانه إلينا، وأفضاله علينا، إذ لا إحسان أفضل من إحسانه صلى الله عليه وسلم، وفائدة الصلاة عليه ترجع إلى الذي يصلي عليه دلالة ذلك على نضوج العقيدة، وخلوص النية، وإظهار المحبة والمداومة على الطاعة والاحترام.»
  • قال أبو العالية: «صلاة الله على نبيه ثناؤه عليه عند ملائكته، وصلاة الملائكة عليه الدعاء».
  • قال ابن حجر في كتابه الجوهر المنظم معنى الصلاة والسلام:«أن الصلاة من الله سبحانه وتعالى هي الرحمة المقرونة بالتعظيم ومن الملائكة والآدميين سؤال ذلك وطلبه له صلى الله عليه وسلم».
حكم الصلاة على النبي
اتفق علماء أهل السنة على استحباب الصلاة والسلام على النبي محمد، حيث قال ابن عطية: الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم في كل حال واجبة وجوب السنن المؤكدة التي لا يسع تركها ولا يغفلها إلا من لا خير فيه. واختلفوا في وجوبها على عدة أقوال أشهرها[2]:
  • واجبة في العمر مرة واحدة، قال المفسر القرطبي: لا خلاف في وجوبها في العمر مرة، وأَنها واجبة في كل حين وجوب السنن المؤكدة.
  • واجبة في الصلاة في التشهد الأخير: وهو قول الشافعية وبعض المالكية.
  • واجب الإكثار منها من غير تحديد.
  • واجبة عند سماع ذكر النبي صلى الله عليه وسلم من غيره أو ذكره بنفسه، نقل ذلك عن الطحاوي.
آيات وأحاديث في الصلاة على النبي
  • آية: ﴿إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾ «‌33‏:56»
  • حديث: أولى الناس بي يوم القيامة أكثرهم عليّ صلاة[3].
  • حديث: من ذُكرتُ عنده فخطيء الصلاة عليّ خطيء طريق الجنّة[4].
  • حديث: البخيل من ذُكرتُ عندَه ثم لم يصلّ عليّ[5].
  • حديث: من أفضل أيامكم يوم الجمعة، فيه خُلق آدم وفيه قُبض وفيه النفخة وفيه الصعقة، فأكثروا عليّ من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة عليّ، قالوا: يا رسول الله وكيف تعرض عليك صلاتنا وقد أرمت - أي وقد بليت - ؟ قال: إن الله حرم على الأرض أن تأكل أجساد الأنبياء[6].
  • حديث عن أبي بن كعب أنه قال: قلت: يا رسول الله إني أكثر الصلاة عليك فكم أجعل لك من صلاتي؟ فقال: ما شئت. فقلت: الربع. قال: ما شئت فإن زدت فهو خير لك. قلت: النصف. قال: ما شئت فإن زدت فهو خير لك. قلت: فالثلثين. قال: ما شئت فإن زدت فهو خير لك. قلت: أجعل لك صلاتي كلها. قال: إذا تكفى همك ويغفر لك ذنبك[7].
  • حديث: من ذكرت عنده فليصلّ عليّ، ومن صلى عليّ مرة صلى الله عليه بها عشرا. وفي رواية: من صلى عليّ صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات وحط عنه عشر سيئات ورفعه بها عشر درجات[8].
  • حديث: من صلى عليّ صلاة لم تزل الملائكة تصلي عليه ما صلى عليّ فليقلّ عبد من ذلك أو ليكثر[9].
  • حديث: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صعد على المنبر فقال آمين آمين آمين. قيل: يا رسول الله، إنك صعدت المنبر فقلت آمين آمين آمين؟ فقال: إن جبريل أتاني فقال: من أدرك شهر رمضان فلم يغفر له فدخل النار فأبعده الله، قل آمين، فقلت: آمين. ومن أدرك أبويه أو أحدهما فلم يبرهما فمات فدخل النار فأبعده الله، قل آمين. فقلت: آمين. ومن ذكرتَ عنده فلم يصل عليك فأبعده الله، قل آمين. فقلت: آمين[8].
  • حديث: من صلى علي حين يصبح عشرا وحين يمسي عشرا أدركته شفاعتي يوم القيامة[10].
  • حديث: ما جلس قوم مجلسا لم يذكروا الله فيه ولم يصلوا على نبيهم إلا كان عليهم ترة فإن شاء عذبهم وإن شاء غفر لهم[7].
فضائل الصلاة على النبي
نقل الإمام الشعراني في كتاب حدائق الأنوار في الصلاة والسلام على النبي المختار، في الثمرات التي يجتنيها العبد بالصلاة على رسول الإسلام محمد والفوائد التي يكتسبها ويقتنيها[11]:
1.   امتثال أمر الله بالصلاة عليه.
2.   موافقته سبحانه وتعالى في الصلاة عليه.
3.   موافقة الملائكة في الصلاة عليه.
4.   حصول عشر صلوات من الله تعالى.
5.   أن يرفع له عشر درجات.
6.   يكتب له عشر حسنات.
7.   يمحى عنه عشر سيئات.
8.   ترجى إجابة دعوته.
9.   أنها سبب لشفاعته صلى الله عليه وسلم.
10.                      أنها سبب لغفران الذنوب وستر العيوب.
11.                      أنها سبب لكفاية العبد ما أهمه.
12.                      أنها سبب لقرب العبد منه صلى الله عليه وسلم.
13.                      أنها تقوم مقام الصدقة.
14.                      أنها سبب لقضاء الحوائج.
15.                      أنها سبب لصلاة الله وملائكته على المصلي.
16.                      أنها سبب زكاة المصلي والطهارة له.
17.                      أنها سبب لتبشير العبد بالجنة قبل موته.
18.                      أنها سبب للنجاة من أهوال يوم القيامة.
19.                      أنها سبب لردّه صلى الله عليه وسلم على المصلى عليه.
20.                      أنها سبب لتذكر ما نسيه المصلي عليه صلى الله عليه وسلم.
21.                      أنها سبب لطيب المجلس وأن لا يعود على أهله حسرة يوم القيامة.
22.                      أنها سبب لنفي الفقر عن المصلي عليه صلى الله عليه وسلم.
23.                      أنها تنفي عن العبد اسم البخل إذا صلى عليه عند ذكره صلى الله عليه وسلم.
24.                      نجاته من دعائه عليه برغم أنفه إذا تركها عند ذكره صلى الله عليه وسلم.
25.                      أنها تأتي بصاحبها على طريق الجنة وتخطئ بتاركها عن طريقها.
26.                      أنـها تنجـي من نتن المجلس الذي لا ذكر فيه اسم الله ورسوله صلى الله عليـه وسلم.
27.                      أنها سبب لتمام الكلام الذي ابتدئ بحمد الله والـصلاة على رسولـه صلى الله علـيه وسلم.
28.                      أنها سبب لفوز العبد بالجواز على الصراط.
29.                      أنه يخرج العبد عن الجفاء بالصلاة عليه صلى الله عليه وسلم.
30.                      أنها سبب لإلقاء الله تعالى الثناء الحسن على المصلي عليه صلى الله عليه وسلم بين السماء والأرض.
31.                      أنها سبب رحمة الله عز وجل.
32.                      أنها سبب البركة.
33.                      أنها سبب لدوام محبته صلى الله عليه وسلم وزيادتها وتضاعفها وذلك من عقود الإيمان لا يتم إلا به.
34.                      أنها سبب لمحبة الرسول صلى الله عليه وسلم للمصلي عليه صلى الله عليه وسلم.
35.                      أنها سبب لهداية العبد وحياة قلبه.
36.                      أنها سبب لعرض المصلي عليه صلى الله عليه وسلم وذكره عنده صلى الله عليه وسلم.
37.                      أنها سبب لتثبيت القدم يعني على الصراط.
38.                      تأدية الصلاة عليه لأقل القليل من حقه صلى الله عليه وسلم وشكر نعمة الله التي أنعم بها علينا.
39.                      أنها متضمنة لذكر الله وشكره ومعرفة إحسانه.
40.                      أن الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم من العبد دعاء وسؤال من ربه عز وجل فتارة يدعو لنبيه صلى الله عليه وسلم وتارة لنفسه ولا يخفى ما في هذا من المزية للعبد.
41.                      من أعظم الثمرات وأجل الفوائد المكتسبات بالصلاة عليه صلى الله عليه وسلم انطباع صورته الكريمة في النفس.
42.                      أن الإكثار من الصلاة عليه صلى الله عليه وسلم يقوم مقام الشيخ المربي.
جمل الصلاة على النبي
الأحاديث الصحيحة عند أهل السنة
جُمِّعت ألفاظ الصلاة على النبي هذه من كتب الأحاديث[12][13][14]:
1.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ،إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[15].
2.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ[16].
3.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[17].
4.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[18].
5.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[19].
6.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[20].
7.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّك حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبِارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[21].
8.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّك حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بِارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[22].
9.   اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[23].
10.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[24].
11.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[25].
12.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ[26].
13.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ[27].
14.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ[28].
15.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَآلِ إِبْرَاهِيمَ[29].
16.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آل إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ[29].
17.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُولِكَ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آل إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ[29].
18.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[30].
19.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي الْعَالَمِينَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[31].
20.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[32].
21.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ[33].
22.                      اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ[34].
صيغ أخرى وردت عن علماء السنة
دأب علماء السنة، وخصوصا الصوفية منهم على كتابة صيغ متنوعة للصلاة والسلام على النبي محمد اجتهادا منهم أو إلهاما من الله أو تلقيا من رسول الإسلام محمد في المنام، والتي اعترض عليها السلفية بدعوى أنها "بدع في دين الإسلام وأنها لم ترد لا في الكتاب ولا في السنة". ومن هذه الصيغ المشهورة [35]:
  • صلاة الفاتح، وهي عن الشيخ محمد شمس ابن أبي الحسن البكري: اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَالنَّاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيمِ.
  • صلاة النور الذاتي، وهي عن الشيخ أبي الحسن الشاذلي: اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النُّورِ الذَّاتِي وَالسِّرِّ السَّارِي فِي سَائِرِ الأَسْمَاءِ وَالصِّفَاتِ.
  • الصلاة المنجية: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً تُنْجِينَا بِهَا مِنْ جَمِيعِ الأَهْوَالِ وَالآفَاتِ وَتَقْضِي لَنَا بِهَا جَمِيعَ الْحَاجَاتِ وَتْطَهِّرُنَا بِهَا مِنْ جَمِيعِ السَّيِّئاتِ وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَتُبَلِّغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيعِ الْخَيْرَاتِ فِي الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ.
  • صلاة نور القيامة: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ بَحْرِ أَنْوَارِكَ وَمَعْدِنِ أَسْرَارِكَ وَلِسَانِ حُجَّتِكَ وَعَرُوسِ مَمْلَكَتِكَ وَإِمَامِ حَضْرَتِكَ وَطِرَازِ مُلْكِكَ وَخَزَائِنِ رَحْمَتِكَ وَطَرِيقِ شَرِيعَتِكَ الْمُتَلَذِّذِ بِتَوْحِيدِكَ إِنْسَانِ عَيْنِ الْوُجُودِ وَالسَّبَبِ فِي كُلِّ مَوْجُودٍ عَيْنِ أَعْيَانِ خَلْقِكَ الْمُتَقَدِّمِ مِنْ نُورِ ضِيَائِكَ صَلاَةً تَدُومُ بِدَوَامِكَ وَتَبْقَى بِبَقَائِكَ لاَ مُنْتَهَى لَهَا دُونَ عِلْمِكَ صَلاَةً تُرِضِيكَ وَتُرْضِيهِ وَتَرْضَى بِهَا عَنَّا يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
  • الصلاة التفريجية أو الصلاة النارية: اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْمكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ وَعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُومٍ لَكَ.
  • الصلاة الكمالية: اللَّهُمَّ صَلِّ وَبَارِكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ عَدَدَ كَمَالِ الله وَكَمَا يَلِيقُ بِكَمَالِهِ.
  • صلاة الرؤوف الرحيم: اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الرَّؤُوفِ الرَّحِيمِ ذِي الْخُلُقِ الْعَظِيمِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأَزْوَاجِهِ فِي كُلِّ لَحْظَةٍ عَدَدَ كُلِّ حَادِثٍ وَقَدِيمٍ.
  • صلاة السعادة: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ الله صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ الله.
  • صلاة أولي العزم: اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآدَمَ وَنُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى وَمَا بَيْنَهُمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ صَلَوَاتُ الله وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِينَ.
  • صلاة الإنعام: اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ عَدَدَ إِنْعَامِ الله وَأِفْضَالِهِ.
  • صلاة العالي القدر: اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الْحَبِيبِ الْعَالِي الْقَدْرِ الْعَظِيمِ الْجَاهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ.
  • صلاة أحمد البدوي: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نُورِ الأَنْوَارِ. وَسِرِّ الأَسِرَارِ. وَتِرْيَاقِ الأَغْيَارِ. وَمِفْتَاحِ بَابِ الْنَسَارِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُخْتَارِ. وَآلِهِ الأَطْهَارِ. وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ. عَدَد نِعَمِ الله وَأِفْضَالِهِ.
  • صلاة أحمد البدوي: اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدُنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ شَجَرَةِ الأَصْلِ النُّورَانِيَّةِ وَلَمْعَةِ الْقَبْضَةِ الرَّحْمَانِيَّةِ وَأَفْضَلِ الْخَلِيقَةِ الإِنْسَانِيَّةِ وَأَشْرِفِ الصُّورَةِ الْجِسْمَانِيَّةِ وَمَعْدِنِ الأَسْرَارِ الرَّبَّانِيَّةِ وَخَزَائِنِ الْعُلُومِ الإِصْطِفَائِيَّةِ صَاحِبِ الْقَبْضَةِ الأَصْلِيَّةِ وَالْبَهْجَةِ السَّنِيَّةِ وَالرُّتْبَةِ الْعَلِيَّةِ مَنِ انْدَرَجِتِ النَّبِيُّون تَحْتَ لِوَائِهِ فَهُمْ مِنْهُ وَإِلَيْهِ وَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلِيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ مَا خَلَقْتَ وَرَزَقْتَ وَأَمَتَّ وَأَحْيَيْتَ إِلَى يَوْمِ تَبْعَثُ مَنْ أَفْنَيْتَ وَسَلِّمْ تَسْلِيماً كَثِيراً وَالْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِينَ.
  • صلاة الإمام أحمد البدوي: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نُورِ الأَنْوَارِ. وَسِرِّ الأَسِرَارِ. وَتِرْيَاقِ الأَغْيَارِ. وَمِفْتَاحِ بَابِ الْنَسَارِ. سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُخْتَارِ. وَآلِهِ الأَطْهَارِ. وَأَصْحَابِهِ الأَخْيَارِ. عَدَد نِعَمِ الله وَأِفْضَالِهِ.
  • صلاة الشافعي: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدٍ مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا أَمَرْتَ بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تُحِبُّ أَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تَنْبَغِي الصَّلاَةُ عَلَيْهِ.
  • صلاة الكرخي: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ مِلْءَ الدُّنْيَا وَمِلْءَ الآخِرَةِ وَارْحَمْ مُحَمَّداً وَآلَ مُحَمَّدٍ مِلْءَ الدُّنْيَا وَمِلْءَ الآخِرَةِ وَاجْزِ مُحَمَّداً وَآلَ مُحَمَّدٍ مِلْءَ الدُّنْيَا وَمِلْءَ الآخِرَةِ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ مِلْءَ الدُّنْيَا وَمِلْءَ الآخِرَةِ.
  • صلاة عبد القادر الجيلاني: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ السَّابِقِ لِلْخَلْقِ نُورُهُ وَرَحْمَةٌ لِلْعَالَمِينَ ظُهُورُهُ عَدَدَ مَنْ مَضَى مِنْ خَلْقِكَ وَمَنْ بَقِيَ وَمَنْ سَعِدَ مِنْهُمْ وَمَنْ شَقِيَ صَلاَةً تَسْتَغْرِقُ الْعَدَّ وَتُحِيطُ بِالْحَدِّ صَلاَةً لاَ غَايَةَ لَهَا وَلاَ مُنْتَهَى وَلاَ انْقِضَاءَ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِكَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيماً مِثْلَ ذِلِكَ.
  • صلاة الشيخ إبراهيم المتبولي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِكَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَعَلَى آلِهِمْ وَصَحْبِهِمْ أَجْمَعِينَ وَأَنْ تَغْفِرَ لِي مَا مَضَى وَتَحْفَظَنِي فِيمَا بَقِيَ.
  • صلاة الشيخ أحمد بن إدريس: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِنُورِ وَجْهِ الله الْعَظِيمِ الَّذِي مَلأَ أَرْكَانَ عَرْشِ الله الْعَظِيمِ وَقَامَتْ بِهِ عَوَالِمُ الله الْعَظِيمِ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى مَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ ذِي الْقَدْرِ الْعَظِيمِ وَعَلَى آلِ نَبِيِّ الله الْعَظِيمِ بِقَدْرِ ذَاتِ الله الْعَظِيمِ فِي كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ عَدَد مَا فِي عِلْمِ الله الْعَظِيمِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ الله الْعَظِيمِ تَعْظِيماً لِحَقِّكَ يَا مَوْلاَنَا يَا مُحَمَّدُ يَا ذَا الْخُلُقِ الْعَظِيمِ وَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَاجْمَعْ بَيْنِي وَبَيْنَهُ كَمَا جَمَعْتَ بَيْنَ الرُّوحِ وَالنَّفْسِ ظَاهِراً وَبَاطِناً يَقَظَةً وَمَنَاماً وَاجْعَلْهُ يَا رَبِّ رُوحاً لِذَاتِي مِنْ جَمِيعِ الْوُجُوهِ فِي الدُّنْيَا قَبْلَ الآخِرَةِ يَا عَظِيمُ.
كتب في الصلاة على النبي
  • دلائل الخيرات وشوارق الأنوار في ذكر الصلاة على النبي المختار، تأليف: محمد بن سليمان الجزولي، المتوفى سنة 870 هـ.
  • القول البديع في فضل الصلاة على الحبيب الشفيع، تأليف: شمس الدين السخاوي، المتوفى سنة 902 هـ.
  • أفضل الصلوات على سيد السادات، تأليف: يوسف النبهاني، المتوفى سنة 1350 هـ.
  • صلوات الثناء على سيد الأنبياء، تأليف: يوسف النبهاني، المتوفى سنة 1350 هـ.
  • سعادة الدارين في الصلاة على سيد الكونين، تأليف: يوسف النبهاني، المتوفى سنة 1350 هـ.
  • دوحة الأسرار في معنى الصلاة على النبي المختار، تأليف أحمد العلاوي، المتوفى سنة 1351 هـ.
  • الصلاة على النبي، تأليف: عبد الله سراج الدين، المتوفى سنة 1422 هـ.